Perpustakaan sebagai sebuah lembaga yang bertanggungjawab
dalam penyediaan dan pemenuhan kebutuhan informasi dan bahan pustaka tentunya
tidak ada yang meragukan arti penting kehadirannya di tengah masyarakat.
Sosok perpustakaan menjadi suatu hal
yang “sudah” wajib ada di suatu wilayah atau daerah institusi,
terlebih di lembaga pendidikan,. Ungkapan “Perpustakaan merupakan
jantungnya sekolah”, “Perpustakaan simbol intelektual dan akademis daerah”,
“Perpustakaan sebagai pilar utama pendidikan” sering didengar. Walau pada
kenyataannya seringkali perpustakaan tidak mendapatkan perhatian
sepenting peranannya. Tidak sedikit keberadaan perpustakaan hanya
dipandang sebagai sarana pelengkap, yang penting ada.
Perpustakaan Kota Yogyakarta |
Hal ini dapat dilihat dari pemilihan lokasi perpustakaan,
pengelolaan sampai pada keberpihakan. Banyak
perpustakaan daerah yang gedungnya bukanlah didesain untuk perpustakan, namun
hanya memanfaatkan ruang/gedung yang tidak terpakai lagi, sehingga letaknyapun
jauh dari strategis dari akses masyarakat. Tidak kalah memprihatinkan, tidak
sedikit perpustakaan sekolah yang rak-rak bukunya ditempatkan di lorong antar
ruang yang sempit atau sekedar sekat ruangang ala kadarnya. Sehingga tidak
mengherankan, apabila di beberapa (atau banyak?)
perpustakaan akan terlihat kuno, “serem” dan sepi pengunjung. Dan pada akhirnya
perpustakaan akan semakin ditinggalkan masyarakat sasarannya. Apabila
dibiarkan, maka keberadaan perpustakaan hanya akan menjadi gudang buku lusuh
dan tidak dikenal masyarakat. Hal ini terjadi, karena adanya anggapan bahwa perpustakaan
hanya berkaitan dengan pengolahan buku.
Pada dasarnya, perpustakaan tidak hanya berfungsi
dalam pemenuhan kebutuhan informasi dan bahan pustaka masyarakat. Perpustakaan
tidak hanya “bekerja” dalam kerangka pengadaan dan pengolahan bahan pustaka.
Lebih dari itu, perpustakaan adalah area publik yang berperan sebagai pusat
sumber belajar (learning center) dan
juga pusat komunitas (community center).
Dengan paradigma tersebut, pengembangan perpustakaan untuk menjadi area publik
yang digemari dan bermanfaat bagi masyarakat merupakan suatu keharusan.
Dari keprihatianan
tersebut, Perpustakaan Kota Yogyakarta mencoba menerapkan konsep perpustakaan
modern dengan brand “The Dynamic Library”.
Konsep yang menempatkan perpustakaan sebagai pusat sumber belajar dan ruang
publik yang ramah dan menyenangkan,
lebih jauh, konsep tersebut dikembangkan dalam
upaya mengikis paradigma masyarakat bahwa perpustakaan “hanyalah” sebuah gedung
yang senyap dengan buku-buku yang tersusun rapi di raknya serta orang-orang
yang duduk tenang membaca. Perpustakaan bukan lagi hanya kumpulan koleksi
buku-buku yang bisa dibaca dan dipinjam,
namun sebuah wahana yang dinamis, dengan kegiatan-kegiatan
yang bermuara pada peningkatan minat baca serta ilmu pengetahuan.
Pada awalnya banyak kalangan, bahkan sebagian
teman-teman pustakawan menganggap konsep tersebut “keluar dari pakem”. Namun,
syukurlah, anggapan tersebut tidak berlangsung lama, dengan pengembangan kegiatan
“The Dynamic Library”, angka
kunjungan perpustakaan, sebagai salah satu indikator kinerja perpustakaan kian
meningkat, hal inilah yang lambat laun membuat konsep tersebut dapat diterima.
Untuk menjalankan konsep “The Dynamic Library” ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan,
dari promosi dengan program kegiatan melalui jalinan media, diversifikasi
program yang menarik, penguatan kelembagaan baik sistem maupun SDM. Kami
bersyukur, dalam waktu sekitar dua tahun, konsep yang kami jalankan sepertinya
telah sedikit banyak mengubah “wajah” perpustakaan sehingga masyarakatpun mulai
banyak memanfaatkan perpustakaan untuk berbagai aktifitas. Hal ini ditunjukkan
dengan kunjungan dan peminjaman yang terus meningkat. Di awal penerapan konsep tersebut
(Januari 2009) kunjungan perhari hanya sekitar 30-an orang, namun sekarang
(Maret 2011) kunjungan perpustakaan sudah mencapai 300 orang perhari.
Dari indikator kunjungan, kami menganggap konsep “The Dynamic Library” membawa
“keberhasilan” pengembangan perpustakaan, meskipun belum ada kajian secara
khusus tentang hal tersebut. Pendapat berbagai kalangan yang sempat memberikan testimoni
baik melalui media maupun lisan tentang perkembangan perpustakaan juga sejalan
dengan pendapat kami.
Berangkat
dari konsep perpustakaan dinamis dan sejalan dengan tugas dan fungsinya,
Perpustakaan Kota Yogyakarta mengembangkan program kegiatan yang bertumpu pada empat
pokok kegiatan, yaitu: pengelolaan atau manajemen koleksi, layanan masyarakat, pembinaan
perpustakaan dan pengembangan perpustakaan. Keempat pokok kegiatan tersebut
dilaksanakan secara simultan dan berkelanjutan dengan berdasar pada kebutuhan
dan minat masyarakat.
Manajemen
Koleksi
Walau bagaimanpun juga koleksi bahan pustaka merupakan
core dari sebuah perpustakaan,
sehingga pengembangan perpustakaan tidak terlepas dari pengayaan koleksi baik
jumlah eksemplar maupun judul bahan pustaka. Namun yang lebih penting sebenarnya
adalah bagaimana pengorganisasian dan pendayagunaan koleksi bahan pustaka. Hal
ini sangat berkaitan dengan kebutuhan pemustaka dan ketersediaan ruang koleksi.
Anggapan bahwa majunya sebuah perpustakaan dilihat dari statistik jumlah
koleksi kiranya tidak selalu sesuai. Jumlah koleksi yang banyak, namun tidak
dapat dimanfaatkan atau tidak sesuai dengan kebutuhan pemustaka tentunya bukan
hal yang diinginkan.
Pengayaan bahan pustaka berawal dari proses pengadaan,
yang tentunya dimulai dari pemilihan jenis dan judul bahan pustaka. Dalam
pemilihan bahan pustaka setidaknya ada 3 hal yang perlu diperhatikan, yaitu
visi pengembangan koleksi, analisis kebutuhan bahan pustaka dan tren bahan
pustaka. Visi pengembangan koleksi sejalan dengan visi pengembangan
perpustakaan secara umum. Perpustakaan Kota Yogyakarta adalah sebuah
perpustakaan umum yang melayani semua kalangan dari segala usia dengan latar
belakang yang sangat heterogen, sehingga bahan pustaka yang disediakan juga
harus memenuhi kebutuhan mereka. Namun karena berbagai keterbatasan, maka
analisis kebutuhan bahan pustaka menjadi sangat urgen untuk menentukan skala
prioritas.
Analisis kebutuhan bahan pustaka dapat dilakukan
dengan berbagai cara, diantaranya dengan melihat statistik peminjaman bahan
pustaka berdasarkan kelas, menjaring aspirasi dari pemustaka dengan pengisian
angket juga dapat dilakukan. Disamping analisis tersebut, tanggap terhadap tren
minat masyarakat terhadap buku juga penting untuk dilakukan. Buku-buku best seller apabila dapat disediakan di
perpustakaan secara update tentunya
menjadi daya tarik tersendiri.
Layanan
Masyarakat
Perpustakaan adalah lembaga layanan publik, dengan
bahan pustaka dan informasi sebagai produk layanannya. Dengan beragam dan
heterogennya masyarakat yang harus dilayani, maka keragaman program menjadi
suatu keharusan yang merupakan bagian dari penerapan konsep “The Dynamic Library”. Secara sederhana, penampilan
fisik gedung, ruang dan petugas perpustakaan harus welcome dan nyaman bagi para pengunjung. Walau sebagai “konsekuensi
logis” dari hal tersebut, kesunyi-senyapan ruang perpustakaan yang selama ini
menjadi ciri perpustakaan secara umum, tidak ditemui lagi di Perpustakaan Kota
Yogyakarta. Namun beruntung, selama ini belum ada keberatan dan keluhan dari
para pengunjung, sepertinya semua sudah terbiasa dan maklum dengan keadaan
tersebut.
Pelayanan,
dalam sebuah lembaga layanan publik dapat dikatakan menjadi salah satu tolak
ukur keberhasilan. Demikian pula bagi perpustakaan, baik buruknya citra sebuah perpustakaan dapat dilihat dari
layanannya. Perpustakaan akan dinilai berhasil jika mampu memberikan layanan
yang terbaik sehingga pemustaka akan selalu datang untuk memanfaatkan
perpustakaan dengan seoptimal mungkin. Maka, disamping penampilan, pengembangan
sistem layanan dan diversifikasi layanan juga harus dilakukan.
Sistem
layanan perpustakaan yang berbasis teknologi banyak berkembang dewasa ini,
tentunya semakin memudahkan dan mempercepat layanan. Namun, interaksi dan
komunikasi antara petugas perpustakaan dan pemustaka tak harus ditinggalkan.
Interaksi dan komunikasi yang baik dan ramah akan mempererat “jalinan batin”
pemustaka dengan perpustakaan. Hal ini yang sering ditinggalkan atas alasan
penerapan teknologi digital.
Macam
layanan juga semakin dikembangkan seiring berkembangnya teknologi, diantaranya semakin
ditingkatkannya layanan hotspot dan
line internet PC. Sebagai bentuk kepedulian terhadap penyandang difabel,
layanan blind corner yang merupakan
layanan khusus diperuntukan bagi penyandang tuna netra juga dikembangkan
berbasis teknologi digital. Sedangkan untuk menghimpun dan menyalurkan buku
dari dan ke masyarakat, Perpustakaan Kota Yogyakarta juga mengembangkan apa
yang disebut Bank Buku, yang kabarnya merupakan satu-satunya layanan yang
dikembangkan oleh perputakaan di Indonesia.
Bank
Buku adalah sebuah wadah yang disediakan bagi masyarakat untuk dapat
menyumbangkan buku yang kemudian akan didistribusikan untuk dapat dimanfaatkan
secara luas bagi yang membutuhkan. Diharapkan dengan adanya Bank Buku dapat
mengurangi kesenjangan sosial antara masyarakat dalam hal pemenuhan dan
ketersediaan akses terhadap buku.
Bank
Buku yang usianya baru genap satu tahun ternyata mendapat sambutan yang baik
dari masyarakat, terbukti dengan banyaknya sumbangan buku yang masuk dan banyak
pula permintaan baik dari lembaga sekolah maupun komunitas masyarakat. Tidak
kurang dari 10.000 eksemplar buku layak baca, baik secara fisik maupun konten
sudah berhasil dikumpulkan dan disalurkan dalam waktu satu tahun, hal ini
setara dengan sepuluh kali lipat pengadaan buku yang dibiayai oleh Pemerintah
dalam setahun. Potensi Bank Buku sangat layak untuk dikembangkan dan diteruskan
sebagai suatu mekanisme peredaran dan perputaran buku di masyarakat untuk
mengoptimalkan daya guna sebuah buku.
Pembinaan
Perpustakaan
Fungsi
perpustakaan sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi dan
rekreasi memiliki peran yang besar dalam peningkatan dan pengembangan budaya
literasi mayarakat. Dengan berbagai fungsi yang diharapkan dapat dilaksanakan, perpustakaan
umum yang dikelola pemerintah, tentunya tidak hanya berkutat pada pengembangan
perpustakaannya semata. Keberadaan perpustakaan masyarakat, perpustakaan
sekolah dan perpustakaan instansi juga tidak boleh luput dari perhatian dan
pembinaan. Hal ini mengingat perpustakaan-perpustakaan tersebut merupakan mitra
dalam pengembangan budaya literasi masyarakat.
Dalam
pembinaan perpustakaan sekolah, komunikasi dengan kepala sekolah, sebagai
penentu kebijakan harus senantiasa dijalin dengan baik, upaya meningkatkan
perhatian dan kepedulian kepala sekolah sangat ditekankan, dalam pengamatan
sederhana, maju tidaknya dan baik tidaknya perpustakaan sekolah banyak
bergantung pada kebijakan dan kepedulian kepala sekolah. Disamping tentunya
pembinaan secara teknis dan pengembangan wawasan petugas perpustakaan juga
dilakukan, baik dalam bentuk bimbingan teknis, pelatihan maupun visitasi ke sekolah.
Perpustakaan
masyarakat atau yang sering dikenal dengan sebutan Taman Bacaan Masyarakat
(TBM) berkembang dengan baik di wilayah Kota Yogyakarta. Saat ini terdapat
sekitar 175 TBM yang berdiri, namun belum semua TBM terkelola dengan baik,
kendala SDM dan kurangnya bahan pustaka masih menjadi alasan primadona. Hal ini
menuntut perhatian dan pembinaan yang lebih intensif. Mengingat banyaknya TBM
yang ada, konsep pembinaan TBM yang dikembangkan adalah kemitraan, yaitu 15 TBM
yang dinilai baik dan unggul terutama dalam hal pengelolaannya ditunjuk sebagai
TBM Pendamping dan percontohan bagi TBM lainnya yang berada dalam satu
kecamatan.
Dalam
setiap pembinaan, baik perpustakaan sekolah maupun TBM, konsep “The Dynamic Library” dalam pengelolaan
sebuah perpustakaan senantiasa ditularkan.
Pengembangan
Perpustakaan
Konsep “The Dynamic
Library” pada dasarnya adalah memberikan ruh pada aktivitas
perpustakaan. Mengubah paradigma dan pandangan masyarakat tentang keberadaan
dan citra perpustakaan tidak dapat dicapai hanya dengan mencukupkan bahan
pustaka. Kegiatan yang dapat menarik masyarakat untuk berkunjung ke
perpustakaan penting untuk dilakukan. Konsep awal bukanlah mengajak orang untuk
membaca dan meminjam buku, namun membuat orang tertarik dan nyaman berada di
perpustakaan, bak kata pepatah “tak kenal maka tak sayang”.
Promosi dan publikasi perlu dilakukan untuk
menginformasikan keberadaan, layanan dan kegiatan perpustakaan. Kegiatan
promosi tidak semata dilakukan dengan penyebaran brosur dan leaflet, namun diselenggarakannya
berbagai kegiatan dengan kemasan yang menarik, dan bertepatan dengan event-event
hari besar nasional maupun keagamaan, disamping kegiatan rutin bulanan atau
mingguan yang terencana dan terjadwal serta sudah diinformasikan sejak awal
melalui kalender kegiatan perpustakaan merupakan salah satu bentuk promosi yang
efektif untuk “memaksa” masyarakat berkunjung ke perpustakaan.
Jalinan kerjasama dengan media massa merupakan “garda
depan” dalam menaikkan citra perpustakaan. Dengan pemberitaan positif di media
massa tentang perpustakaan dengan segala aktivitasnya, tidak hanya berfungsi sebagai
alat promosi, namun juga berfungsi sebagai akuntabilitas publik akan kegiatan
yang dilaksanakan. Memahami cara kerja dan kebutuhan media, tidaklah sulit
menjalin sinergi dengan mereka.
Untuk membuat sebuah perpustakaan menarik dikunjungi,
maka dalam mengelolanya harus berani melakukan inovasi dan variasi program
kegiatan yang memang dibutuhkan masyarakat, tanpa melupakan tugas-tugas
pokoknya. Mengajak mayarakat berkunjung, tidak harus selalu dilakukan dengan
ajakan untuk membaca, namun dengan menawarkan program-program yang menarik
masyarakat. Bersinergi dengan media masa juga merupakan langkah strategis dalam
meningkatkan citra ditengah masyarakat. Namun sebagai pemeran utama
pengembangan perpustakaan haruslah ditopang oleh SDM yang mempunyai komitmen
tinggi untuk bekerja sepenuh hati. (fie')
Tidak ada komentar:
Posting Komentar