Peradaban umat manusia yang terjadi berabad-abad lampau dapat diketahui
dan dipelajari melalui bukti-bukti yang ditinggalkannya. Kebudayaan Babilonia yang
terjadi ribuan tahun silam misalnya, dapat kita ketahui melalui goresan-goresan
tulisan dan gambar-gambar yang ditinggalkannya. Di negeri kita, kejayaan
Sriwijaya dan Majapahit juga terdokumentasi melalui prasasti maupun catatan
yang masih dapat kita jumpai sampai saat ini.
Dapat kita bayangkan seandaianya catatan-catatan masa lampau tersebut
tidak ada, maka generasi saat ini tentu “buta” terhadap peradaban masa silam. Dari
sinilah kita menyadari pentingnya suatu catatan/tulisan/gambar yang terjaga
dengan baik sehingga dapat menginformasikan sesuatu kepada orang atau generasi
di tempat dan masa yang berbeda. Hal inilah yang kemudian diyakini sebagai
cikal bakal lahirnya suatu kegiatan yang sekarang dikenal dengan nama
perpustakaan.
Meskipun pada hakekatnya perpustakaan telah ada sejak berabad-abad yang
lampau, namun di Negara kita perhatian terhadap perpustakaan tidaklah seumur
keberadaan bangsa Indonesia
sendiri. Baru setelah 62 tahun Indonesia
merdeka, lahirlah Undang-undang no 43 tahun 2007 yang secara komprehensip
menjadi landasan hukum tentang perpustakaan. Lahirnya undang-undang ini
diharapkan dapat menjadi rujukan hukum yang pasti sehingga pengelolaan
perpustakaan dapat lebih optimal.
Dalam undang-undang no. 43 tahun 2007 disebutkan bahwa perpustakaan
berfungsi sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi dan
rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan dan kebudayaan bangsa. Sedangkan
tujuannya adalah memberikan layanan kepada pemustaka, meningkatkan kegemaran
membaca, memperluas wawasan dan pengetahuan.
Dalam konteks Yogyakarta yang menyandang sebagai kota pendidikan, perpustakaan seharusnya
menjadi salah satu instrument wajib termasuk budaya baca masyarakatnya sehinga
menjadi ciri yang khas dan menonjol. Bagi yang sudah pernah ke Jepang (Jepang
merupakan salah satu reverensi peradaban maju saat ini), atau oleh-oleh cerita
dari sana ,
bagaimana masyarakat jepang memanfaatkan waktu untuk membaca. Di stasiun, di
dalam kereta, saat menunggu antrean dan di fasilitas-faslitas public lainnya,
mereka manfaatkan waktu yang ada untuk membaca. Budaya baca yang begitu tingi
membuat orang yang pernah berkunjung ke sana
merasa sangat terkesan, bahkan dapat menjadi media promosi yang sangat efektif
tingginya budaya baca mereka.
Pertanyaannya sekarang adalah, “bagaimana dengan Yogyakarta dengan
atribut sebagai kota
pendidikan yang disandangnya?” Saaat ini
mungkin kita baru dapat membayangkan bahwa suatu saat nanti apa yang terjadi di
Jepang dapat juga ditemui di Yogyakarta . Sehingga
siapapun yang berkunjung ke Yogyakarta akan menebarkan ceritera tentang
tingginya budaya baca dan barangkali dapat menjadi tambahan “oleh-oleh khas
Yogyakarta” melengkapi gudeg, geplak, bakpia, batik dsb.
Sebagai kota
multikultur yang notabene hampir semua wakil komunitas dari seluruh nusantara
ada di sini, maka budaya/kebiasaan yang baik tentu akan menjadi referensi bagi
siapapun yang menjumpainya. Dengan demikian maka usaha memasyarakatkan budaya
baca menjadi sangat efektif melaui
promosi langsung para pengunjung di kota
ini.
Rupanya gerakan gemar membaca tersebut disadari sepenuhnya dan
ditindaklanjuti secara serius oleh pemerintah kota
Yogyakarta . Dalam berbagai kesempatan, Walikota
Yogyakarta mengkampanyekan tentang pentingnya membaca bagi masyarakat. Bukti
nyata adalah dengan dibentuknya perpustakaan komunitas sampai tingkat RW,
digulirkannya bantuan dana sosial untuk pengembangan perpustakaan masyarakat,
serta secara kelembagaan ditingkatkannya pengelolaan perpustakaan daerah Kota Yogyakarta
dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) menjadi Kantor Arsip dan Perpustakaan, sebagai
lembaga pemerintah yang berfungsi sebagai motivator, dinamisator dan regulator
kegiatan keperpustakaan di tingkat Kota Yogyakarta.
Seperti program-program pelayanan publik yang lainnya, berbagai kekhasan
bentuk perpustakaan juga dujumpai di Yogyakarta. Selain perpustakaan komunitas yang
berbasis sampai tingkat RW. Selain sebagai upaya mensukseskan peningkatan minat
baca masyarakat sebagimana diamatkan oleh undang-undang no. 43 tahun 2007,
adanya perpustakaan sampai tingkat “bawah” tersebut tentu akan membuka akses
yang seluas-luasnya bagi masyarakat. Dengan sendirinya perpustakaan juga
diharapkan mampu menjadi media agen perubahan masyarakat dalam rangka
mewujudkan masyarakat cerdas dan kritis yang didasari oleh wawasan luas,
mempunyai apresiasi terhadap budaya dan lingkungan serta mendorong sikap moral
yang semakin soleh dan santun. Disisi lain, secara praktis, informasi yang
didapatkan dari perpustakaan juga dapat meningkatkan pengetahuan dan
ketrampilan sehingga masyarakat dapat lebih mandiri.
Selain perpustakaan komunitas yang menjamur sampai tingkat RW, yogyakarta
juga mempelopori lahirnya perpustakaan lansia. Bahkan secara kelembagaan,
perpustakaan lansia diakui sebagai yang pertama ada di Indonesia . Ini
juga salah satu bukti bahwa belajar pada hakekatnya dapat dilakukan sepanjang
hayat. Makna yang mulia dan tinggi dengan keberadaan perpustakaan lansia adalah
merupakan cerminan semangat yang tidak pernah surut di usia senja mereka. Hal
ini tentu harus menjadi cambuk bagi generasi muda, bahwa budaya membaca
semestinya juga menjadi bagian bagi keseharian mereka.
Dari berbagai sisi, Yogyakarta
mempunyai modal yang cukup untuk mempelopori budaya membaca. Dukungan
pemerintah, antusiasme masyarakat serta lingkungan akademis yang sangat kental menjadi
daya dorong utama untuk menjadikan Yogyakarta menuju kota yang masyarakatnya mempunyai budaya baca
yang tinggi. Meskipun di sisi lain, infrastruktur yang ada belum mendukung
sepenuhnya, namun dengan semangat masyarakat di segenap lini, bukan hal yang
mustahil bahwa Yogyakarta dapat menjadi
pelopor budaya gemar membaca. Dari Yogyakarta, kita pelopori budaya gemar membaca. (fie')
Tidak ada komentar:
Posting Komentar