Rabu, 13 Februari 2013

Mengembangkan Budaya Gemar Menbaca

Peradaban umat manusia yang terjadi berabad-abad lampau dapat diketahui dan dipelajari melalui bukti-bukti yang ditinggalkannya. Kebudayaan Babilonia yang terjadi ribuan tahun silam misalnya, dapat kita ketahui melalui goresan-goresan tulisan dan gambar-gambar yang ditinggalkannya. Di negeri kita, kejayaan Sriwijaya dan Majapahit juga terdokumentasi melalui prasasti maupun catatan yang masih dapat kita jumpai sampai saat ini.  Dapat kita bayangkan seandaianya catatan-catatan masa lampau tersebut tidak ada, maka generasi saat ini tentu “buta” terhadap peradaban masa silam. Dari sinilah kita menyadari pentingnya suatu catatan/tulisan/gambar yang terjaga dengan baik sehingga dapat menginformasikan sesuatu kepada orang atau generasi di tempat dan masa yang berbeda. Hal inilah yang kemudian diyakini sebagai cikal bakal lahirnya suatu kegiatan yang sekarang dikenal dengan nama perpustakaan.  
Secara tradisional, perpustakaan berarti kumpulan buku (a collection of books). Menurut ALA Glossary of Library and Information Science, yang merupakan salah satu definisi akademis, menyebutkan bahwa perpustakaan adalah “A collection of material organized to provide physical, bibliographical, and intellectual access to target group with a staff that is trained to provide services and programs related to the information needs of the target group (Heartsill Young (ed.) Chicago: ALA, 1983). Sedangkan definisi formal menurut Undang-undang No. 43 tahun 2007, perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara professional dengan system yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka.
Meskipun pada hakekatnya perpustakaan telah ada sejak berabad-abad yang lampau, namun di Negara kita perhatian terhadap perpustakaan tidaklah seumur keberadaan bangsa Indonesia sendiri. Baru setelah 62 tahun Indonesia merdeka, lahirlah Undang-undang no 43 tahun 2007 yang secara komprehensip menjadi landasan hukum tentang perpustakaan. Lahirnya undang-undang ini diharapkan dapat menjadi rujukan hukum yang pasti sehingga pengelolaan perpustakaan dapat lebih optimal.
Dalam undang-undang no. 43 tahun 2007 disebutkan bahwa perpustakaan berfungsi sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi dan rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan dan kebudayaan bangsa. Sedangkan tujuannya adalah memberikan layanan kepada pemustaka, meningkatkan kegemaran membaca, memperluas wawasan dan pengetahuan.
Dalam konteks Yogyakarta yang menyandang sebagai kota pendidikan, perpustakaan seharusnya menjadi salah satu instrument wajib termasuk budaya baca masyarakatnya sehinga menjadi ciri yang khas dan menonjol. Bagi yang sudah pernah ke Jepang (Jepang merupakan salah satu reverensi peradaban maju saat ini), atau oleh-oleh cerita dari sana, bagaimana masyarakat jepang memanfaatkan waktu untuk membaca. Di stasiun, di dalam kereta, saat menunggu antrean dan di fasilitas-faslitas public lainnya, mereka manfaatkan waktu yang ada untuk membaca. Budaya baca yang begitu tingi membuat orang yang pernah berkunjung ke sana merasa sangat terkesan, bahkan dapat menjadi media promosi yang sangat efektif tingginya budaya baca mereka.
Pertanyaannya sekarang adalah, “bagaimana dengan Yogyakarta dengan atribut sebagai kota pendidikan  yang disandangnya?” Saaat ini mungkin kita baru dapat membayangkan bahwa suatu saat nanti apa yang terjadi di Jepang dapat juga ditemui di Yogyakarta. Sehingga siapapun yang berkunjung ke Yogyakarta akan menebarkan ceritera tentang tingginya budaya baca dan barangkali dapat menjadi tambahan “oleh-oleh khas Yogyakarta” melengkapi gudeg, geplak, bakpia, batik dsb.
Sebagai kota multikultur yang notabene hampir semua wakil komunitas dari seluruh nusantara ada di sini, maka budaya/kebiasaan yang baik tentu akan menjadi referensi bagi siapapun yang menjumpainya. Dengan demikian maka usaha memasyarakatkan budaya baca menjadi sangat  efektif melaui promosi langsung para pengunjung di kota ini.
Rupanya gerakan gemar membaca tersebut disadari sepenuhnya dan ditindaklanjuti secara serius oleh pemerintah kota Yogyakarta. Dalam berbagai kesempatan, Walikota Yogyakarta mengkampanyekan tentang pentingnya membaca bagi masyarakat. Bukti nyata adalah dengan dibentuknya perpustakaan komunitas sampai tingkat RW, digulirkannya bantuan dana sosial untuk pengembangan perpustakaan masyarakat, serta secara kelembagaan ditingkatkannya pengelolaan perpustakaan daerah Kota Yogyakarta dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) menjadi Kantor Arsip dan Perpustakaan, sebagai lembaga pemerintah yang berfungsi sebagai motivator, dinamisator dan regulator kegiatan keperpustakaan di tingkat Kota Yogyakarta.
Seperti program-program pelayanan publik yang lainnya, berbagai kekhasan bentuk perpustakaan juga dujumpai di Yogyakarta. Selain perpustakaan komunitas yang berbasis sampai tingkat RW. Selain sebagai upaya mensukseskan peningkatan minat baca masyarakat sebagimana diamatkan oleh undang-undang no. 43 tahun 2007, adanya perpustakaan sampai tingkat “bawah” tersebut tentu akan membuka akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat. Dengan sendirinya perpustakaan juga diharapkan mampu menjadi media agen perubahan masyarakat dalam rangka mewujudkan masyarakat cerdas dan kritis yang didasari oleh wawasan luas, mempunyai apresiasi terhadap budaya dan lingkungan serta mendorong sikap moral yang semakin soleh dan santun. Disisi lain, secara praktis, informasi yang didapatkan dari perpustakaan juga dapat meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan sehingga masyarakat dapat lebih mandiri.
Selain perpustakaan komunitas yang menjamur sampai tingkat RW, yogyakarta juga mempelopori lahirnya perpustakaan lansia. Bahkan secara kelembagaan, perpustakaan lansia diakui sebagai yang pertama ada di Indonesia. Ini juga salah satu bukti bahwa belajar pada hakekatnya dapat dilakukan sepanjang hayat. Makna yang mulia dan tinggi dengan keberadaan perpustakaan lansia adalah merupakan cerminan semangat yang tidak pernah surut di usia senja mereka. Hal ini tentu harus menjadi cambuk bagi generasi muda, bahwa budaya membaca semestinya juga menjadi bagian bagi keseharian mereka. 
Dari berbagai sisi, Yogyakarta mempunyai modal yang cukup untuk mempelopori budaya membaca. Dukungan pemerintah, antusiasme masyarakat serta lingkungan akademis yang sangat kental menjadi daya dorong utama untuk menjadikan Yogyakarta menuju kota yang masyarakatnya mempunyai budaya baca yang tinggi. Meskipun di sisi lain, infrastruktur yang ada belum mendukung sepenuhnya, namun dengan semangat masyarakat di segenap lini, bukan hal yang mustahil bahwa Yogyakarta dapat menjadi pelopor budaya gemar membaca. Dari Yogyakarta, kita pelopori budaya gemar membaca. (fie')

Tidak ada komentar:

Gantari: Pusat Unggulan Naskah Kuno di Perpustakaan Kota Yogyakarta

Selayang Pandang Pusat Unggulan Naskah Kuno Gantari , yang bernaung di bawah Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Yogyakarta, merupakan ini...