Secara umum, sebagaimana disebutkan dalam
pasal 54 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional no. 20 tahun 2003,
keberhasilan pendidikan sangat bergantung pada peran serta masyarakat secara keseluruhan.
Keluarga, dan yang lebih spesifik adalah orangtua juga sangat diharapkan
peranannya dalam penyelengaraan pendidikan, baik sebagai sumber maupun
pelaksana yang secara langsung maupun tidak menopang proses pendidikan.
Pendidikan
anak usia dini yang merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional, bukan
hanya menjadi tanggung jawab pihak lembaga pendidikan anak usia dini. Apalagi
sasaran pendidikan anak usia dini adalah usia 0 sampai dengan 6 tahun, sehingga
sebagian besar waktunya adalah bersama keluarga. Dengan demikian agar tidak
terjadi ambiguitas dalam perkembangan anak, maka satunya pemahaman,
stimulasi dan cara mendidik yang sesuai dengan pola perkembangan anak antara
pihak lembaga pendidikan anak usia dini dan orangtua adalah suatu hal yang
tidak bisa ditawar lagi.
Keberadaan
lembaga pendidikan anak usia dini yang semakin marak merupakan salah satu wujud
nyata peran serta dan tumbuhnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan
anak. Namun hal itu juga harus dibarengi dengan pemahaman yang benar para
orangtua tentang pola perkembangan anak agar perannya dalam proses pendidikan
anak sejalan dengan apa yang diberikan oleh lembaga pendidikan anak usia dini.
a. Pengertian
Partisipasi
Kata
“partisipasi” diambil dari bahasa Inggris participation, dalam Oxford
Advanced Learner’s Dictionary disebutkan bahwa participation means
(action of) participating, sedang participate means to take part or
become involved (Hornby, 1990).
Dengan demikian kata partisipasi dapat didefinisikan sebagai aksi atau tindakan
untuk terlibat atau berperan serta. Dari beberapa literatur ditemukan bahwa
istilah “partisipasi” dapat diartikan dalam berbagai pengertian, meskipun semua
pada akhirnya bermuara pada satu kesimpulan bahwa partisipasi merupakan tingkat
keterlibatan anggota kelompok dalam mencapai tujuan kelompok.
Davis
(1987) menyatakan bahwa partisipasi adalah keterlibatan mental dan pikiran
individu di dalam suatu kelompok sosial yang mendorongnya untuk mengembangkan
kemampuan sesuai dengan tujuan kelompok tersebut. Sedang Rogers (1971)
mendefinisikan “participation is the degree to which members of a social
system are involved in the decision-making process.”
Soegarda
Poerbakawatja (1976) mendefinisikan partisipasi sebagai suatu gejala demokrasi
tempat orang-orang diikutsertakan dalam perencanaan dan pelaksanaan segala
sesuatu yang berpusat pada berbagai kepentingan. Orang-orang juga ikut memikul
tanggung jawab sesuai dengan tingkat kematangan dan tingkat kewajibannya.
Sedang syarat terjadinya partisipasi menurut Davis (1987) adalah: (1)
tersedianya waktu untuk berpartisipasi;
(2) orang yang berpartisipasi harus mempunyai kemampuan untuk
berpartisipasi; (3) adanya komunikasi dalam berpartisipasi; (4) tersedianya
biaya yang cukup; (5) tidak merugikan orang lain; dan (6) adanya keterikatan
anggota dengan tujuan yang akan dicapai.
Dalam
hubungannya dengan pendidikan anak usia dini, partisipasi orangtua dapat
diartikan sebagai keterlibatan atau peran serta orangtua dalam mencapai tujuan
pendidikan anak, yaitu mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak
sehingga nantinya anak dapat bersikap, bertindak dan bertingkah laku
sebagaimana yang diharapkan dalam kelompok sosial tersebut, yakni masyarakat.
Lebih lanjut, partisipasi tidaklah hanya dilihat dari menyekolahkan atau
memasukkan anaknya ke dalam lembaga pendidikan anak usia dini tetapi juga
kualitas keterlibatan orangtua dalam ikut mengupayakan pencapaian tujuan
pendidikan anak usia dini secara optimal.
b. Faktor-faktor Terbentuknya Partisipasi
Seperti
telah dijelaskan sebelumnya bahwa partisipasi adalah keterlibatan individu
maupun kelompok dalam upaya pencapaian tujuan tertentu. Dalam proses
pendidikan, alasan seorang individu berpartisipasi didasari oleh berbagai macam
motivasi atau tujuan dan dapat berlangsung dalam berbagai tingkatan. McGivney
(1990), sebagaimana yang dikutip oleh Smith (1998) dalam Infed Encyclopaedia,
merangkum beberapa teori untuk menjelaskan hal tersebut, diantaranya adalah
teori hierarki kebutuhan (Needs hierarchy theory), Force-field Theory,
model kesesuaian (Congreuen model), teori transisi kehidupan (Life
transitions theory) dan teori referensi kelompok (Reference group theory).
Penjelasan
pokok dalam teori hierarki kebutuhan (Needs hierarchy theory) adalah
bahwa hal yang menentukan partisipasi seseorang tergantung pada sejauh mana ia
telah dapat memenuhi tingkatan kebutuhan dasarnya. Artinya, apabila kebutuhan
dasarnya telah terpenuhi, maka ia akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan di
atasnya.
Teori
ini kemudian digunakan secara bersama-sama dengan Force-field Theory,
yang dikembangkan oleh Lewin, untuk menjelaskan mengapa status sosial-ekonomi
seseorang berhubungan dengan partisipasi dalam pendidikan (Smith, 1998). Dia
menggambarkan adanya dorongan positif dan dorongan negatif serta kekuatan
relatif yang datang dari dalam diri seseorang dalam menentukan keputusan untuk
berpartisipasi.
Hal
tersebut kemudian diteruskan oleh Rubenson (1977) sebagaimana dikutip oleh
McGivney (1990) (Smith, 1998), yang berpendapat bahwa pendidikan, sebagaimana
pekerjaan, merupakan kegiatan yang berorientasi pada pencapaian prestasi (achievement-orientated
activity), artinya, bahwa orang yang ingin maju, maka ia akan termotivasi
melakukan kegiatan untuk memperoleh prestasi pribadi.
Lebih
lanjut Rubenson menyatakan bahwa motivasi merupakan interaksi dari dua faktor,
yaitu harapan (expectacy) dan valensi (valence). Harapan terdiri
dari dua komponen, yaitu (1) harapan bahwa seseorang akan berhasil dalam
pendidikan, dan (2) harapan bahwa hasil pendidikan tersebut akan memberikan
konsekuensi yang positif bagi dirinya. Sedang valensi, merupakan pertimbangan
nilai-nilai positif atau negatif seseorang untuk terlibat dalam proses
pendidikan. Misalnya, berpartisipasi pada pendidikan anak akan mengoptimalkan
perkembagan anaknya, namun hal ini berarti akan mengeluarkan sejumlah biaya.
Teori
lain yang menjelaskan faktor terbentuknya partisipasi adalah teori model
kesesuaian (Congruence model theory) yang dikembangkan oleh Boshier
(Gibson & Graff, 1992). Dalam model ini dikatakan bahwa seseorang akan
berpartisipasi atau terlibat dalam suatu proses pendidikan apabila hal tersebut
sesuai atau sejalan dengan persepsi atau pemahamannya tentang pendidikan dan
sifat program pendidikan tersebut.
Orangtua
yang memiliki persepsi dan pemahaman yang sejalan dengan konsep pendidikan anak
usia dini yang dikembangkan dalam suatu lembaga prasekolah misalnya, akan
dengan sukarela menyumbangkan tenaga, pikiran dan emosinya untuk pendidikan
anaknya. Dan sebaliknya, apabila pemahaman dan persepsi orangtua tentang konsep
pendidikan anak usia dini tidak sejalan dengan konsep yang dikembangkan, akan
timbul keragu-raguan untuk ikut berpartisipasi.
Lain
halnya dengan teori yang telah disebutkan sebelumnya, teori transisi kehidupan
(Life transitions theory) dan teori referensi kelompok (Reference
group theory) merupakan teori yang menjelaskan bahwa partisipasi seseorang
individu didorong oleh lingkungan kehidupan sosialnya. Asumsi dasar dari teori
transisi kehidupan adalah bahwa seorang individu akan mengalami transisi atau
perubahan dalam rentang kehidupannya, dan partisipasi dalam proses pendidikan
berhubungan erat dengan hal ini. Seseorang yang mendapatkan pekerjaan baru,
misalnya, akan terlibat dalam proses pendidikan untuk meningkatkan kemampuan
dalam pekerjaan barunya tersebut. Demikian pula dengan perubahan peran seorang
wanita ketika menjadi ibu, ia akan terlibat secara langsung dalam proses
pendidikan agar dapat mengasuh dan mendidik anaknya dengan baik.
Teori
referensi kelompok mendasarkan pandangan bahwa manusia mengidentifikasi dirinya
dengan kelompok sosial dan budaya dimana ia berada – “kelompok referensi
normatif” (normative reference group/NRF)
– atau dengan kelompok yang menginspirasi pandangannya – “kelompok referensi
komparatif” (comparative reference group/CRG) Dengan teori ini dapat
dijelaskan bahwa keseluruhan lingkungan seseorang dan keanggotaan dalam
kelompok akan membentuk orientasi untuk terlibat dalam suatu proses pendidikan.
Seseorang yang melihat perkembangan positif anak tetangganya dimana ia tinggal
(kemandirian, sopan santun, dll) akan menjadi dorongan yang positif baginya
untuk mengetahui lebih jauh bagaimana mendidik anaknya, dimana sekolahnya dan
lain-lain. Hal ini sedikit banyak akan menjadi referensi bagi yang bersangkutan
dalam mendidik anaknya.
Model
proses terjadinya partisipasi, khususnya dalam bidang pendidikan, juga
dikembangkan oleh Cross dengan Model “Chain of Response”-nya (D’Amico etc., 2000). Dalam mengembangkan modelnya,
Cross mengambil beberapa elemen, dimulai dengan faktor individu dan diakhiri
dengan faktor eksternal, yang kemudian digabungnya kedalam tujuh-tahapan
proses. Model ini berangkat dari mengidentifikasi dua elemen pokok, yaitu (1)
evaluasi diri dan (2) sikap terhadap pendidikan, kedua faktor internal ini
kemudian mempengaruhi (3) nilai tujuan/valensi dan harapan bahwa dengan
berpartisipasi maka kebutuhannya akan terpenuhi. Valensi dan harapan juga
dipengaruhi oleh (4) transisi kehidupan dan tugas-tugas perkembangan yang merupakan
wujud dari harapan sosial seorang individu. (5) Kesempatan dan keterbatasan
serta (6) informasi tentang pendidikan yang sesuai lebih lanjut akan modifikasi
apakah seorang individu akan mengambil (7) keputusan untuk berpartisipasi atau
tidak. Gambar 1 menjelaskan elemen pokok dari skema Cross - Chain of Respond
Model.
![]() |
Gambar 1. Skema Cross - Chain of Response Model |
Dari
skema tersebut dapat dijelaskan bahwa berpartisipasi dalam proses pendidikan
bukanlah aksi atau tindakan tunggal, namun merupakan hasil rantai respon dari
elemen sebelumnya dan masing-masing elemen berdasarkan evaluasi terhadap posisi
individu terhadap lingkungannya. Satu faktor dalam rangkaian proses tersebut
akan mempengaruhi faktor lainnya. Semakin positif pengalaman pada satu tahapan,
akan semakin baik pula untuk mencapai tahap terakhirnya, yaitu berpartisipasi.
Berbeda
dengan McGivney, Backer (2003), menggunakan pendekatan perilaku (behavior)
untuk menjelaskan proses terjadinya partisipasi. Asumsi dasar penjelasan Backer
adalah bahwa membentuk partisipasi berarti membentuk perilaku, dan meningkatkan
partisipasi berarti mengubah perilaku. Dari pernyataan ini dapat dikatakan
bahwa keputusan seseorang untuk berpartisipasi merupakan cerminan dari
perilakunya.
Fishbein’s
Theory of Reasoned Action merupakan teori
dasar yang digunakan oleh Backer. Teori tersebut mengasumsikan bahwa
secara umum individu menggunakan rasionalitas dan informasi dari luar dengan
cara yang sistematik. Untuk memahami perilaku, menurut Ajzen dan Fishbein (1975),
ada dua faktor yang penting, yaitu: (1) faktor personal, yang kemudian disebut
dengan istilah sikap terhadap perilaku (attitude towards behaviour),
yang ditentukan oleh estimasi subjektif, berupa belief (keyakinan,
pemahaman, persepsi) dan (2) faktor pengaruh sosial, atau norma subjektif (subjective
norm) yang mengekspresikan persepsi bahwa seorang individu dipengaruhi oleh
tekanan sosial atau lingkungannya dalam berperilaku. Atau dapat dikatakan
bahwa, seseorang akan berperilaku jika ia yakin bahwa apa yang dilakukan itu
baik dan jika ia berpikiran bahwa orang lain juga mengharapkannya untuk
berperilaku demikian.
Lain
halnya dengan Ajzen dan Fishbein, dalam kaitan antara perilaku dengan
lingkungan sosialnya, Bandura menerangkan bahwa tidak hanya lingkungan yang
mempengaruhi perilaku individu, namun perilaku individu juga dapat mempengaruhi
lingkungannya, ia menyebut konsep ini dengan reciprocal determinism (Pajares,
2002). Teori ini memandang bahwa (1) faktor personal dalam bentuk kognisi,
afeksi dan biologis, (2) perilaku, dan (3) pengaruh lingkungan akan membentuk
interaksi dalam bentuk triadic reciprocality. Konsep tersebut kemudian
diilustrasikan dalam Gambar 2.
|
||||
c. Bentuk Partisipasi Orangtua terhadap
Pendidikan Anak Usia Dini
Orangtua,
sebagai anggota yang paling dominan dalam suatu kelompok sosial terkecil, yaitu
keluarga, dalam menjalani peran dan fungsinya, dituntut partisipasinya dalam
pendidikan anak-anaknya. Partisipasi orangtua terhadap pendidikan anak usia
dini, tidak hanya diwujudkan dalam bentuk “menyekolahkan” anak dalam lembaga
pendidikan anak usia dini, namum lebih pada upaya orangtua dalam ikut
mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anaknya, karena sebagaimana
diungkapkan oleh Witherington (1978) bahwa pada dasarnya pendidikan adalah
suatu proses yang sengaja dilakukan untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan seseorang. Menyediakan lingkungan dan sarana belajar yang kondusif,
berinteraksi dengan anak secara emosional dan intelektual, memberikan
kesempatan anak untuk dapat bereksplorasi dalam lingkungan yang lebih luas,
memberikan keteladanan yang baik, menanamkan kebiasaan yang baik bagi anak di
rumah, mengadakan komunikasi yang baik dengan pihak “sekolah” merupakan wujud
nyata partisipasi orangtua dalam pendidikan anak usia dini.
Epstein
(2001) mengkategorikan partisipasi orangtua kedalam enam tipe keterlibatan,
yaitu: (1) parenting atau pola asuh, yang ditunjukkan sebagai membangun
lingkungan rumah untuk mendorong anak-anak sebagai murid; (2) communicating atau komunikasi,
didesain dari bentuk komunikasi sekolah-rumah dan rumah-sekolah yang efektif
tentang program-program sekolah dan kemajuan anak; (3) volunteering atau
sukarelawan, dengan merekrut dan mengatur bantuan orangtua; (4) learning at home atau belajar di
rumah, dengan menyediakan informasi dan gagasan kepada keluarga bagaimana
menolong dan mendorong anaknya belajar di rumah; (5) decision making atau
pengambilan keputusan, dengan melibatkan orangtua dalam pengambilan keputusan
tentang program-program sekolah, melalui Persatuan Orangtua Murid dan Guru
(POMG) misalnya; dan (6) collaborating with community atau bekerjasama
dengan masyarakat, dalam bentuk mengidentifikasi dan mengintegrasikan sumber
daya dan pelayanan dari masyarakat untuk menunjang program-program sekolah,
kegiatan di rumah, dan pengembangan belajar anak.
Hampir
sejalan dengan pandangan Epstein, Baker (Lee, 2000) mengkategorikan partisipasi
orangtua ke dalam tiga hal, yaitu (1) bantuan orangtua dalam belajar di rumah;
(2) partisipasi dalam menyediakan sarana dan prasarana kelas dan sekolah; dan
(3) komunikasi orangtua-guru tentang pendidikan anak. Ketiga kategori tersebut
sesuai dengan enam ketegori partisipasi yang dikemukakan oleh Epstein, yaitu
keterlibatan belajar di rumah, keterlibatan di sekolah dan komunikasi.
Lebih
lanjut, Grotberg (1979) mengemukakan “It seems quite clear that educational
stimulation and emotional support from parents are the critical factors in
differentiating children’s education and development.” Pernyataan
ini menegaskan bahwa tugas orangtua (parental role) dalam
hubungannya dengan proses pendidikan anak adalah memberikan stimulasi edukasi (educational
stimulation) dan dukungan emosi (emotional support). Stimulasi
edukasi adalah pemberian kesempatan pada anak untuk dapat mengembangkan potensi
dirinya baik secara emosional maupun intelektual, penyediaan sarana dan
prasarana belajar, seperti buku-buku, alat permainan, serta pemberian
kesempatan bagi anak untuk dapat bereksplorasi pada lingkungan yang lebih luas.
Sedang yang dimaksud dukungan emosi adalah hubungan interpersonal antara anak
dan orangtua.
Bila
kita menggabungkan pendapat Grotberg yang lebih menitikberatkan pada
partisipasi orangtua di rumah dengan kategori partisipasi yang dikembangkan
baik oleh Epstein maupun Baker, dapat ditarik satu benang merah bahwa peran
orangtua dalam pendidikan anaknya meliputi tiga aspek, yaitu: interaksi
orangtua-anak, komunikasi orangtua-guru dan penyediaan sarana dan lingkungan
edukasi. Dan ketiga aspek tersebut merupakan satu kesatuan yang saling
melengkapi.
1) Interaksi
Orangtua dan Anak
Sebagaimana
dikatakan oleh Hasbullah (1999), keluarga merupakan satu kesatuan hidup (sistem
sosial), dan keluarga hendakya meyediakan situasi belajar bagi seluruh
anggotanya. Pola asuh atau interaksi edukasi dalam keluarga merupakan bagian
dari totalitas proses pendidikan yang memiliki muatan multidimensional dan
mempengaruhi pembentukan kepribadian seorang anak kelak. Karena proses
pendidikan anak dimulai dari keluarga.
Sejalan
dengan pendapat Hasbullah, Bossard & Boll (1960), mengemukakan bahwa
keluarga lebih dari suatu struktur, keluarga adalah suatu bentuk interaksi
sosial yang menjadi referensi yang signifikan bagi anggota keluarga dalam
perkembangan sosialnya. Interaksi yang konstan antar anggota keluarga
memberikan suatu gambaran dasar dan merupakan dasar yang penting bagi
perkembangan kepribadian anggota keluarganya, khususnya bagi anak usia dini.
Dengan demikian, jelaslah bahwa interaksi atau hubungan antar anggota keluarga,
merupakan “alat edukasi” yang sangat mempengaruhi perkembangan seorang anak.
Setidaknya
terdapat tiga alasan mengapa tingkat interaksi orangtua dengan anak dimasukkan
sebagai salah satu bentuk partisipasi orangtua dalam pendidikan anak. Pertama,
keluarga memberikan pengalaman pertama dalam kehidupan seorang anak, dimana
pengalaman pertama selalu memberikan dampak yang istimewa dan berarti dalam
suatu rentang kehidupannya. Kedua, bahwa pengalaman dalam keluarga akan selalu
terjadi secara berulang-ulang. Sedang yang ketiga, sejak awal interaksi
keluarga selalu memberikan warna emosional yang menempatkannya sebagai suatu
yang unik bagi masing-masing keluarga.
Berkaitan
dengan tingkatan interaksi yang tejadi, lebih lanjut Bossard & Boll (1960)
mengemukakan bahwa dalam konteks perkembangan anak, tingkat interaksi dapat
dibagi menjadi tiga. Yang pertama adalah interaksi sensori (sensory
interaction), kedua interaksi emosional (emotional interaction), dan
terakhir, interaksi intelektual (intelectual interaction). Interaksi
sensori adalah suatu interaksi resiprokal paling sederhana yang dapat dilihat
dalam berbagai macam bentuk, misalnya nada suara, ekspresi wajah, belaian,
cubitan, dan sebagainya. Interaksi seperti ini penting dalam hubungan antara
orangtua dan anak, khususnya anak dini usia, pertama karena interaksi ini akan
berlanjut pada hubungan emosional yang lebih dekat dan kedua karena masih
minimnya perbendaharaan kata yang dimiliki oleh anak usia dini.
Interaksi
emosional, seperti rasa saling menyayangi, membagi kebahagiaan, membenci
merupakan bentuk dari interaksi ini. Dengan adanya interaksi emosional,
orangtua dan anak akan dapat saling mengerti dan menghargai, dapat saling
berkomunikasi dan pada akhirnya terjalin suatu ikatan emosional yang unik pada
masing-masing keluarga. Sedang interaksi intelektual, merupakan suatu bentuk
interaksi dimana antara orangtua dan anak dapat saling berbagi pendapat, mengevaluasi,
mengkritik, mengungkapkan harapan dan semacamnya.
Interaksi
yang terjalin antara orangtua dan anaknya akan sangat berpengaruh pada
pembentukan pribadi seorang anak. Dengan interaksi yang baik dan hangat, anak
akan mendapatkan pengalaman yang sangat berarti dan mewarnai sikap, perilaku
serta kepribadian, yang pada akhirnya akan membentuk konsep dirinya.
2) Komunikasi
Orangtua dan Guru
Selain
interaksi dengan anak, kepedulian orangtua terhadap aktivitas anak di “sekolah”
juga merupakan wujud partisipasi terhadap pendidikan anaknya. Adanya
kesepahaman antara orangtua dengan guru di “sekolah” tentang proses
pembelajaran yang sedang dilalui anak merupakan aspek yang penting dalam
mengoptimalkan proses pendidikan anak. Karena dengan kesepahaman tersebut akan
menimbulkan sinergi antara proses pendidikan di rumah dengan proses pendidikan
di sekolah. Wall (1975) dalam bukunya Constructive Education for Children,
menegaskan bahwa aspek dasar pendidikan adalah adanya pengetahuan dan pemahaman
yang timbal balik antara rumah dan sekolah. Hal ini kemudian dijelaskan oleh Tizard
& Tizard (1979) tentang pentingnya orangtua membangun komunikasi dengan
guru di sekolah.
Without an
understanding of the teacher’s goal and methods, parents are bound to feel
alienated from the school, and even from their child; they will be quite unable
to engage in an education dialogue with the teacher, help their child at home,
or even discuss his school with him.
Atas
dasar pandangan dan pemahaman yang sama mengenai kurikulum sekolah, tujuan
pembelajaran, sifat-sifat dasar anak, keseharian anak baik di rumah maupun di
sekolah, akan memudahkan bagi orangtua dan guru dalam menangani proses
pembelajaran anak. Hal ini pula yang mendorong adanya saling pengertian dan
penghargaan atas masing-masing peran. Memahami metode dan tujuan pembelajaran
guru, menanyakan kegiatan anaknya di “sekolah”, turut memantau perkembangan
anaknya, menghadiri pertemuan orangtua dan guru serta membantu mengerjakan
pekerjaan rumah, merupakan contoh-contoh kecil yang memperlihatkan kepedulian
orangtua terhadap proses pendidikan anaknya. Bahkan fenomena terkini,
keterlibatan orangtua dengan pihak “sekolah” semakin intens dan nyata, seperti
keterlibatan orangtua dalam proses pembelajaran sebagai guru tamu.
Satu
hal yang perlu diperhatikan bahwa kesepahaman antara orangtua dan guru tentang
pendidikan anak tidak dapat terjadi begitu saja. Kesepahaman tersebut perlu
dibangun melalui komunikasi yang efektif. Komunikasi dapat dibangun dengan
berbagai cara dan dengan kesediaan kedua belah pihak. Keberadaan “buku
penghubung”, home visits, atau pertemuan rutin POMG (Persatuan Orangtua
Murid dan Guru) merupakan bentuk dari upaya membangun komunikasi yang kiranya
perlu dimanfaatkan oleh kedua belah pihak.
3) Lingkungan
dan Sarana Edukatif
Tidaklah
sulit untuk memahami bahwa orangtua adalah pemikul tanggungjawab pendidikan
anak yang utama dan pertama. Sedangkan Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini
berperan sebagai partner yang akan mengoptimalkan perkembangan anak.
Dengan demikian tugas pendidikan anak akan sangat terbantu jika rumah mampu
diciptakan sebagai tempat tinggal yang nyaman sekaligus wahana dan sumber
pendidikan. Dalam hal ini, penyediaan lingkungan dan sarana edukatif bagi
anak-anak merupakan salah satu wujud partisipasi nyata orangtua terhadap
pendidikan anaknya.
Penyediaan
lingkungan yang edukatif tidaklah cukup hanya dengan melengkapi sarana
pendidikan seperti alat bermain edukatif, buku-buku, atau media belajar lain
untuk anak di rumah. Lebih dari itu harus dibarengi dengan pembentukan suasana
lingkungan yang edukatif pula. Yang dimaksud dengan lingkungan adalah
sebagaimana yang diistilahkan oleh Reuchlin (Wall, 1975) dengan “heuristic
quality of environment”, yaitu lingkungan yang memenuhi unsur: kualitas
manusia dan materi, tingkat pengaturan, serta keberagaman dan konsistensi
pengalaman. Menanamkan kebiasaan membaca misalnya, selain ketersediaan
buku-buku dan majalah-majalah, akan sangat lebih mudah diajarkan apabila
orangtua langsung mempraktekkannya. Disamping juga konsistensi orangtua dalam
menanamkan kebiasaan tersebut.
4 komentar:
Permisi kak, boleh tahu referensi buku yang dipakai atau daftar pustaka nya? Makasih
hai,, boleh tau kah referensi bukunya
trim kasih
Assalamualaikum, boleh tau referensi bukunya?
permisi kak ijin copy materinya yaa
Posting Komentar