Saya jadi ingat, ada
satu kalimat orangtua dalam bahasa Jawa yang sering disampaikan semasa kecil
dulu dalam banyak kesempatan, ketika ada kata-kata yang saya ucapkan “mungkin”
dirasa menyinggung teman atau saudara, “Nek
ngomong kuwe dipikir sik…”. Sebuah kalimat sederhana, namun mengandung
makna dan nasehat yang sangat dalam. Ada dua hikmah yang dapat diambil dari
kata-kata tersebut, pertama,
hendaknya kita berhati-hati dan santun dalam berbicara, pemilihan kata-kata
yang tepat agar orang yang diajak bicara tidak tersinggung walaupun sebenarnya
pesan yang akan kita sampaikan “mungkin” bukan yang diharapkan. Kadang, pesan
yang sampai sama, namun akan ditangkap berbeda dengan pemilihan kata yang
berbeda pula.
Kedua,
materi atau pesan yang akan kita sampaikan, apakah harus kita sampaikan, perlu
kita sampaikan, tidak perlu kita sampaikan atau bahkan memang bukan “porsi”
kita untuk menyampaikan. Banyak kita jumpai, orang membicarakan hal yang bukan
hak/porsinya, sehingga ketersinggungan atau bahkan fitnahlah yang terjadi.
Ditengah kehidupan yang
“semua orang ingin bicara”, mungkin sebagian dari kita perlu menjadi orang yang
“mau sabar mendengar” dan berbicara karena memang hak kita untuk
menyampaikannya, dengan santun tentunya. Sehingga keharmonisan yang didamba
setiap individu akan terwujud. Kalimat bijak juga sering kita dengar, “lidah
tidak bertulang”, “mulutmu adalah harimaumu”, bahkan “diam adalah emas”, barangkali
semakin menegaskan bahwa memang sudah seharusnya kita harus “Nek ngomong kudhu dipikir…” Semoga kita
dapat “me-recovery” ucap yang terlalu
acap terucap supaya lebih santun, bermakna, bermartabat dan bermanfaat. (fie’)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar