Senin, 18 Februari 2013

Maturnuwun Pak Becak


Karena jarak yang tidak begitu jauh dan sekalian buat “olahraga”, biasanya saya hanya berjalan kaki ketika ada keperluan di luar kantor. Namun pada hari itu, karena panas begitu menyengat, saya naik becak ketika harus ke suatu tempat yang jaraknya tidak sampai setengah kilometer.  Tidak ada yang istimewa dengan perjalanan saya naik becak,  justru keistimewaan itu hadir ketika saya menyodorkan uang sepuluh ribu rupiah pada “Pak Becak”, yang sebenarnya dengan lima ribu rupiah sudah merupakan “ongkos” yang wajar. Saya belum pernah mendapatkan ucapan “maturnuwun” setulus dari “Pak Becak” saat itu, baik yang tergambar dari irama ucapnya maupun bahasa tubuhnya, seolah-olah saya telah “menyelamatkan hidupnya”. Barangkali bagi kita uang sepuluh ribu tidak bisa dibilang terlalu besar, dan kalau dilihat dari “rentetan peristiwa”nya, toh uang tersebut pantas didapatkan karena hasil kerja payahnya, sesuatu hal yang sangat wajar (bahkan mungkin belum setimpal dengan perjuangannya).
Maturnuwun “Pak Becak” itu membuat saya merenung, mungkin uang itu merupakan uang pertama yang diperolehnya hari itu setelah hampir setengah hari “mangkal” menunggu penumpang. Atau barangkali ia sudah ditunggu keluarganya yang belum bisa beli beras untuk menyambung hidup di hari itu. Atau, bahkan mungkin uangnya sudah dinanti untuk beli obat karena anak atau istrinya sedang sakit.
Atau, … mungkin memang dia adalah orang yang penuh rasa terima kasih dan penuh rasa syukur ketika mendapatkan sesuatu, sehingga sekecil apapun kenikmatan yang diterima, disyukurinya penuh ketulusan, tanpa timbul sedikitpun rasa “masih kurang”. Barangkali, sifat semacam inilah yang sekarang ini semakin menjauh dari kebanyakan kita, sehingga semakin marak dan subur sifat tamak, semua selalu diukur dengan materi, sehingga tidak sedikit yang akhirnya menghalalkan korupsi. Tahun 2013 “baru” saja diawali, yang berarti “jatah” usia kita sudah berkurang satu tahun lagi. Semoga pada tahun ini, kita dapat memulai dan mengarungi dengan segala sesuatunya lebih baik lagi. Dan sedikit sisa waktu di tahun ini, marilah kita lalui dengan rasa syukur sehingga dapat kita akhiri dengan penuh makna dan arti bagi sepenggal artikulasi kehidupan ini.(fie’)

Rabu, 13 Februari 2013

Pendirian Perpustakaan Desa/Kelurahan

Dalam undang-undang no. 43 tahun 2007 disebutkan bahwa perpustakaan berfungsi sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi dan rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan dan kebudayaan bangsa. Sedangkan tujuannya adalah memberikan layanan kepada pemustaka, meningkatkan kegemaran membaca, memperluas wawasan dan pengetahuan. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa Perpustakaan adalah sebuah institusi yang secara langsung dapat memenuhi kebutuhan informasi masyarakat. Perpustakaan tidak hanya untuk terpenuhinya bahan pustaka, namun lebih jauh merupakan wadah mengembangan budaya baca masyarakat.
Dalam pengembangan budaya baca masyarakat dimana tingkat kesadaran masyarakat terhadap budaya baca masih sangat beragam, maka didirikanlah perpustakaan desa atau kelurahan, yang merupakan salah satu upaya mendekatkan” buku sedekat mungkin (secara fisik terlebih dulu) dengan masyarakat. Dengan kata lain, pendirian sebuah perpustakaan desa/kelurahan haruslah dilandasi pemikiran meningkatkan dan memudahkan akses masyarakat terhadap bahan pustaka dan informasi.
Kemudahan akses ini tentunya tidak hanya dilihat dari sisi masyarakat pengguna atau pemustaka namun juga pada sisi kemudahan pada pengelolaannya. Ada 4 hal yang perlu diperhatikan dalam pendirian sebuah perpustakaan desa, yaitu lokasi, sasaran yang berdampak pada waktu layanan dan jenis bahan bacaan dan informasi, serta pengelolaan perpustakaan itu sendiri.
Idealnya sebuah perpustakaan desa/kelurahan bertempat di lokasi yang mudah dijangkau, baik dari segi jarak maupun aksesnya (waktu layanan), juga secara psikologis “nyaman akses”. Alhasil, penempatan perpustakaan desa/kelurahan tidak harus berada di kantor kepala desa/kelurahan, sebagaimana banyak terjadi sekarang. Yang terpenting adalah bagaimana masyarakat dapat dengan mudah mengakses perpustakaan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah jam buka atau waktu layanan. Waktu layanan juga sedapat mungkin menyesuaikan waktu senggang sasaran pengunjung/pemustaka. Pada umumnya, apabila perpustakaan bertempat di kantor kepala desa/kelurahan maka jam buka layanan menyesuaikan jam kerja kantor, hal ini perlu ditinjau ulang, mengingat waktu senggang masyarakat lebih banyak pada sore hingga malam hari.
Sasaran pengunjung juga berdampak pada penyediaan bahan bacaan atau informasi yang disajikan di perpustakaan. Jenis dan ragam bahan bacaan serta informasi sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam memilih dan menentukan bahan bacaan tentunya sangat diharapkan, sehingga bahan bacaan yang disajikan dapat benar-benar bermanfaat bagi pengembangan keterampilan dan literasi masyarakat.
Dari segi pengelolaan, standar pengelolaan maupun pengolahan bahan pustaka pada  perpustakaan desa/kelurahan hendaklah dirancang sesederhana mungkin, namun tentunya tanpa meninggalkan kaidah-kaidah kepustakawanan. Hal ini mengingat sumber daya manusia yang disiapkan di perpustakaan desa/kelurahan bukanlah orang yang memiliki latar belakang pendidikan perpustakaan. 
Disamping ketiga hal diatas,  pada dasarnya, perpustakaan tidak hanya berfungsi dalam pemenuhan kebutuhan informasi dan bahan pustaka masyarakat. Lebih dari itu, perpustakaan adalah area publik yang berperan sebagai pusat sumber belajar (learning center) dan juga pusat komunitas (community center). Demikian pula dengan perpustakaan desa/kelurahan, pengembangan perpustakaan untuk menjadi area publik yang digemari dan bermanfaat bagi masyarakat merupakan suatu keharusan. (fie')

The Dynamic Library: Sebuah Konsep Pengembangan Perpustakaan

Perpustakaan sebagai sebuah lembaga yang bertanggungjawab dalam penyediaan dan pemenuhan kebutuhan informasi dan bahan pustaka tentunya tidak ada yang meragukan arti penting kehadirannya di tengah masyarakat. Sosok  perpustakaan menjadi suatu hal yang “sudah” wajib ada di suatu wilayah atau daerah institusi, terlebih di lembaga pendidikan,. Ungkapan “Perpustakaan merupakan jantungnya sekolah”, “Perpustakaan simbol intelektual dan akademis daerah”, “Perpustakaan sebagai pilar utama pendidikan” sering didengar. Walau pada kenyataannya seringkali perpustakaan tidak mendapatkan perhatian sepenting peranannya. Tidak sedikit keberadaan perpustakaan hanya dipandang sebagai sarana pelengkap, yang penting ada.
Perpustakaan Kota Yogyakarta
Hal ini dapat dilihat dari pemilihan lokasi perpustakaan, pengelolaan sampai pada keberpihakan. Banyak perpustakaan daerah yang gedungnya bukanlah didesain untuk perpustakan, namun hanya memanfaatkan ruang/gedung yang tidak terpakai lagi, sehingga letaknyapun jauh dari strategis dari akses masyarakat. Tidak kalah memprihatinkan, tidak sedikit perpustakaan sekolah yang rak-rak bukunya ditempatkan di lorong antar ruang yang sempit atau sekedar sekat ruangang ala kadarnya. Sehingga tidak mengherankan, apabila di beberapa (atau banyak?) perpustakaan akan terlihat kuno, “serem” dan sepi pengunjung. Dan pada akhirnya perpustakaan akan semakin ditinggalkan masyarakat sasarannya. Apabila dibiarkan, maka keberadaan perpustakaan hanya akan menjadi gudang buku lusuh dan tidak dikenal masyarakat. Hal ini terjadi, karena adanya anggapan bahwa perpustakaan hanya berkaitan dengan pengolahan buku.
Pada dasarnya, perpustakaan tidak hanya berfungsi dalam pemenuhan kebutuhan informasi dan bahan pustaka masyarakat. Perpustakaan tidak hanya “bekerja” dalam kerangka pengadaan dan pengolahan bahan pustaka. Lebih dari itu, perpustakaan adalah area publik yang berperan sebagai pusat sumber belajar (learning center) dan juga pusat komunitas (community center). Dengan paradigma tersebut, pengembangan perpustakaan untuk menjadi area publik yang digemari dan bermanfaat bagi masyarakat merupakan suatu keharusan.
Dari keprihatianan tersebut, Perpustakaan Kota Yogyakarta mencoba menerapkan konsep perpustakaan modern dengan brand “The Dynamic Library”. Konsep yang menempatkan perpustakaan sebagai pusat sumber belajar dan ruang publik yang ramah dan menyenangkan, lebih jauh, konsep tersebut dikembangkan dalam upaya mengikis paradigma masyarakat bahwa perpustakaan “hanyalah” sebuah gedung yang senyap dengan buku-buku yang tersusun rapi di raknya serta orang-orang yang duduk tenang membaca. Perpustakaan bukan lagi hanya kumpulan koleksi buku-buku yang bisa dibaca dan dipinjam, namun sebuah wahana yang dinamis, dengan kegiatan-kegiatan yang bermuara pada peningkatan minat baca serta ilmu pengetahuan.
Pada awalnya banyak kalangan, bahkan sebagian teman-teman pustakawan menganggap konsep tersebut “keluar dari pakem”. Namun, syukurlah, anggapan tersebut tidak berlangsung lama, dengan pengembangan kegiatan “The Dynamic Library”, angka kunjungan perpustakaan, sebagai salah satu indikator kinerja perpustakaan kian meningkat, hal inilah yang lambat laun membuat konsep tersebut dapat diterima.
Untuk menjalankan konsep “The Dynamic Library” ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan, dari promosi dengan program kegiatan melalui jalinan media, diversifikasi program yang menarik, penguatan kelembagaan baik sistem maupun SDM. Kami bersyukur, dalam waktu sekitar dua tahun, konsep yang kami jalankan sepertinya telah sedikit banyak mengubah “wajah” perpustakaan sehingga masyarakatpun mulai banyak memanfaatkan perpustakaan untuk berbagai aktifitas. Hal ini ditunjukkan dengan kunjungan dan peminjaman yang terus meningkat. Di awal penerapan konsep tersebut (Januari 2009) kunjungan perhari hanya sekitar 30-an orang, namun sekarang (Maret 2011) kunjungan perpustakaan sudah mencapai 300 orang perhari.
Dari indikator kunjungan, kami menganggap konsep “The Dynamic Library” membawa “keberhasilan” pengembangan perpustakaan, meskipun belum ada kajian secara khusus tentang hal tersebut. Pendapat berbagai kalangan yang sempat memberikan testimoni baik melalui media maupun lisan tentang perkembangan perpustakaan juga sejalan dengan pendapat kami.
Berangkat dari konsep perpustakaan dinamis dan sejalan dengan tugas dan fungsinya, Perpustakaan Kota Yogyakarta mengembangkan program kegiatan yang bertumpu pada empat pokok kegiatan, yaitu: pengelolaan atau manajemen koleksi, layanan masyarakat, pembinaan perpustakaan dan pengembangan perpustakaan. Keempat pokok kegiatan tersebut dilaksanakan secara simultan dan berkelanjutan dengan berdasar pada kebutuhan dan minat masyarakat.
Manajemen Koleksi
Walau bagaimanpun juga koleksi bahan pustaka merupakan core dari sebuah perpustakaan, sehingga pengembangan perpustakaan tidak terlepas dari pengayaan koleksi baik jumlah eksemplar maupun judul bahan pustaka. Namun yang lebih penting sebenarnya adalah bagaimana pengorganisasian dan pendayagunaan koleksi bahan pustaka. Hal ini sangat berkaitan dengan kebutuhan pemustaka dan ketersediaan ruang koleksi. Anggapan bahwa majunya sebuah perpustakaan dilihat dari statistik jumlah koleksi kiranya tidak selalu sesuai. Jumlah koleksi yang banyak, namun tidak dapat dimanfaatkan atau tidak sesuai dengan kebutuhan pemustaka tentunya bukan hal yang diinginkan.
Pengayaan bahan pustaka berawal dari proses pengadaan, yang tentunya dimulai dari pemilihan jenis dan judul bahan pustaka. Dalam pemilihan bahan pustaka setidaknya ada 3 hal yang perlu diperhatikan, yaitu visi pengembangan koleksi, analisis kebutuhan bahan pustaka dan tren bahan pustaka. Visi pengembangan koleksi sejalan dengan visi pengembangan perpustakaan secara umum. Perpustakaan Kota Yogyakarta adalah sebuah perpustakaan umum yang melayani semua kalangan dari segala usia dengan latar belakang yang sangat heterogen, sehingga bahan pustaka yang disediakan juga harus memenuhi kebutuhan mereka. Namun karena berbagai keterbatasan, maka analisis kebutuhan bahan pustaka menjadi sangat urgen untuk menentukan skala prioritas.
Analisis kebutuhan bahan pustaka dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan melihat statistik peminjaman bahan pustaka berdasarkan kelas, menjaring aspirasi dari pemustaka dengan pengisian angket juga dapat dilakukan. Disamping analisis tersebut, tanggap terhadap tren minat masyarakat terhadap buku juga penting untuk dilakukan. Buku-buku best seller apabila dapat disediakan di perpustakaan secara update tentunya menjadi daya tarik tersendiri.
Layanan Masyarakat
Perpustakaan adalah lembaga layanan publik, dengan bahan pustaka dan informasi sebagai produk layanannya. Dengan beragam dan heterogennya masyarakat yang harus dilayani, maka keragaman program menjadi suatu keharusan yang merupakan bagian dari penerapan konsep “The Dynamic Library”. Secara sederhana, penampilan fisik gedung, ruang dan petugas perpustakaan harus welcome dan nyaman bagi para pengunjung. Walau sebagai “konsekuensi logis” dari hal tersebut, kesunyi-senyapan ruang perpustakaan yang selama ini menjadi ciri perpustakaan secara umum, tidak ditemui lagi di Perpustakaan Kota Yogyakarta. Namun beruntung, selama ini belum ada keberatan dan keluhan dari para pengunjung, sepertinya semua sudah terbiasa dan maklum dengan keadaan tersebut.
Pelayanan, dalam sebuah lembaga layanan publik dapat dikatakan menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan. Demikian pula bagi perpustakaan, baik buruknya  citra sebuah perpustakaan dapat dilihat dari layanannya. Perpustakaan akan dinilai berhasil jika mampu memberikan layanan yang terbaik sehingga pemustaka akan selalu datang untuk memanfaatkan perpustakaan dengan seoptimal mungkin. Maka, disamping penampilan, pengembangan sistem layanan dan diversifikasi layanan juga harus dilakukan.
Sistem layanan perpustakaan yang berbasis teknologi banyak berkembang dewasa ini, tentunya semakin memudahkan dan mempercepat layanan. Namun, interaksi dan komunikasi antara petugas perpustakaan dan pemustaka tak harus ditinggalkan. Interaksi dan komunikasi yang baik dan ramah akan mempererat “jalinan batin” pemustaka dengan perpustakaan. Hal ini yang sering ditinggalkan atas alasan penerapan teknologi digital.
Macam layanan juga semakin dikembangkan seiring berkembangnya teknologi, diantaranya semakin ditingkatkannya layanan hotspot dan line internet PC. Sebagai bentuk kepedulian terhadap penyandang difabel, layanan blind corner yang merupakan layanan khusus diperuntukan bagi penyandang tuna netra juga dikembangkan berbasis teknologi digital. Sedangkan untuk menghimpun dan menyalurkan buku dari dan ke masyarakat, Perpustakaan Kota Yogyakarta juga mengembangkan apa yang disebut Bank Buku, yang kabarnya merupakan satu-satunya layanan yang dikembangkan oleh perputakaan di Indonesia.
Bank Buku adalah sebuah wadah yang disediakan bagi masyarakat untuk dapat menyumbangkan buku yang kemudian akan didistribusikan untuk dapat dimanfaatkan secara luas bagi yang membutuhkan. Diharapkan dengan adanya Bank Buku dapat mengurangi kesenjangan sosial antara masyarakat dalam hal pemenuhan dan ketersediaan akses terhadap buku.
Bank Buku yang usianya baru genap satu tahun ternyata mendapat sambutan yang baik dari masyarakat, terbukti dengan banyaknya sumbangan buku yang masuk dan banyak pula permintaan baik dari lembaga sekolah maupun komunitas masyarakat. Tidak kurang dari 10.000 eksemplar buku layak baca, baik secara fisik maupun konten sudah berhasil dikumpulkan dan disalurkan dalam waktu satu tahun, hal ini setara dengan sepuluh kali lipat pengadaan buku yang dibiayai oleh Pemerintah dalam setahun. Potensi Bank Buku sangat layak untuk dikembangkan dan diteruskan sebagai suatu mekanisme peredaran dan perputaran buku di masyarakat untuk mengoptimalkan daya guna sebuah buku.
Pembinaan Perpustakaan
Fungsi perpustakaan sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi dan rekreasi memiliki peran yang besar dalam peningkatan dan pengembangan budaya literasi mayarakat. Dengan berbagai fungsi yang diharapkan dapat dilaksanakan, perpustakaan umum yang dikelola pemerintah, tentunya tidak hanya berkutat pada pengembangan perpustakaannya semata. Keberadaan perpustakaan masyarakat, perpustakaan sekolah dan perpustakaan instansi juga tidak boleh luput dari perhatian dan pembinaan. Hal ini mengingat perpustakaan-perpustakaan tersebut merupakan mitra dalam pengembangan budaya literasi masyarakat.
Dalam pembinaan perpustakaan sekolah, komunikasi dengan kepala sekolah, sebagai penentu kebijakan harus senantiasa dijalin dengan baik, upaya meningkatkan perhatian dan kepedulian kepala sekolah sangat ditekankan, dalam pengamatan sederhana, maju tidaknya dan baik tidaknya perpustakaan sekolah banyak bergantung pada kebijakan dan kepedulian kepala sekolah. Disamping tentunya pembinaan secara teknis dan pengembangan wawasan petugas perpustakaan juga dilakukan, baik dalam bentuk bimbingan teknis, pelatihan maupun visitasi ke sekolah.
Perpustakaan masyarakat atau yang sering dikenal dengan sebutan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) berkembang dengan baik di wilayah Kota Yogyakarta. Saat ini terdapat sekitar 175 TBM yang berdiri, namun belum semua TBM terkelola dengan baik, kendala SDM dan kurangnya bahan pustaka masih menjadi alasan primadona. Hal ini menuntut perhatian dan pembinaan yang lebih intensif. Mengingat banyaknya TBM yang ada, konsep pembinaan TBM yang dikembangkan adalah kemitraan, yaitu 15 TBM yang dinilai baik dan unggul terutama dalam hal pengelolaannya ditunjuk sebagai TBM Pendamping dan percontohan bagi TBM lainnya yang berada dalam satu kecamatan.
Dalam setiap pembinaan, baik perpustakaan sekolah maupun TBM, konsep “The Dynamic Library” dalam pengelolaan sebuah perpustakaan senantiasa ditularkan.
Pengembangan Perpustakaan
Konsep The Dynamic Librarypada dasarnya adalah memberikan ruh pada aktivitas perpustakaan. Mengubah paradigma dan pandangan masyarakat tentang keberadaan dan citra perpustakaan tidak dapat dicapai hanya dengan mencukupkan bahan pustaka. Kegiatan yang dapat menarik masyarakat untuk berkunjung ke perpustakaan penting untuk dilakukan. Konsep awal bukanlah mengajak orang untuk membaca dan meminjam buku, namun membuat orang tertarik dan nyaman berada di perpustakaan, bak kata pepatah “tak kenal maka tak sayang”.
Promosi dan publikasi perlu dilakukan untuk menginformasikan keberadaan, layanan dan kegiatan perpustakaan. Kegiatan promosi tidak semata dilakukan dengan penyebaran brosur dan leaflet, namun diselenggarakannya berbagai kegiatan dengan kemasan yang menarik, dan bertepatan dengan event-event hari besar nasional maupun keagamaan, disamping kegiatan rutin bulanan atau mingguan yang terencana dan terjadwal serta sudah diinformasikan sejak awal melalui kalender kegiatan perpustakaan merupakan salah satu bentuk promosi yang efektif untuk “memaksa” masyarakat berkunjung ke perpustakaan.
Jalinan kerjasama dengan media massa merupakan “garda depan” dalam menaikkan citra perpustakaan. Dengan pemberitaan positif di media massa tentang perpustakaan dengan segala aktivitasnya, tidak hanya berfungsi sebagai alat promosi, namun juga berfungsi sebagai akuntabilitas publik akan kegiatan yang dilaksanakan. Memahami cara kerja dan kebutuhan media, tidaklah sulit menjalin sinergi dengan mereka. 

Untuk membuat sebuah perpustakaan menarik dikunjungi, maka dalam mengelolanya harus berani melakukan inovasi dan variasi program kegiatan yang memang dibutuhkan masyarakat, tanpa melupakan tugas-tugas pokoknya. Mengajak mayarakat berkunjung, tidak harus selalu dilakukan dengan ajakan untuk membaca, namun dengan menawarkan program-program yang menarik masyarakat. Bersinergi dengan media masa juga merupakan langkah strategis dalam meningkatkan citra ditengah masyarakat. Namun sebagai pemeran utama pengembangan perpustakaan haruslah ditopang oleh SDM yang mempunyai komitmen tinggi untuk bekerja sepenuh hati. (fie')

Mengembangkan Budaya Gemar Menbaca

Peradaban umat manusia yang terjadi berabad-abad lampau dapat diketahui dan dipelajari melalui bukti-bukti yang ditinggalkannya. Kebudayaan Babilonia yang terjadi ribuan tahun silam misalnya, dapat kita ketahui melalui goresan-goresan tulisan dan gambar-gambar yang ditinggalkannya. Di negeri kita, kejayaan Sriwijaya dan Majapahit juga terdokumentasi melalui prasasti maupun catatan yang masih dapat kita jumpai sampai saat ini.  Dapat kita bayangkan seandaianya catatan-catatan masa lampau tersebut tidak ada, maka generasi saat ini tentu “buta” terhadap peradaban masa silam. Dari sinilah kita menyadari pentingnya suatu catatan/tulisan/gambar yang terjaga dengan baik sehingga dapat menginformasikan sesuatu kepada orang atau generasi di tempat dan masa yang berbeda. Hal inilah yang kemudian diyakini sebagai cikal bakal lahirnya suatu kegiatan yang sekarang dikenal dengan nama perpustakaan.  
Secara tradisional, perpustakaan berarti kumpulan buku (a collection of books). Menurut ALA Glossary of Library and Information Science, yang merupakan salah satu definisi akademis, menyebutkan bahwa perpustakaan adalah “A collection of material organized to provide physical, bibliographical, and intellectual access to target group with a staff that is trained to provide services and programs related to the information needs of the target group (Heartsill Young (ed.) Chicago: ALA, 1983). Sedangkan definisi formal menurut Undang-undang No. 43 tahun 2007, perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara professional dengan system yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka.
Meskipun pada hakekatnya perpustakaan telah ada sejak berabad-abad yang lampau, namun di Negara kita perhatian terhadap perpustakaan tidaklah seumur keberadaan bangsa Indonesia sendiri. Baru setelah 62 tahun Indonesia merdeka, lahirlah Undang-undang no 43 tahun 2007 yang secara komprehensip menjadi landasan hukum tentang perpustakaan. Lahirnya undang-undang ini diharapkan dapat menjadi rujukan hukum yang pasti sehingga pengelolaan perpustakaan dapat lebih optimal.
Dalam undang-undang no. 43 tahun 2007 disebutkan bahwa perpustakaan berfungsi sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi dan rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan dan kebudayaan bangsa. Sedangkan tujuannya adalah memberikan layanan kepada pemustaka, meningkatkan kegemaran membaca, memperluas wawasan dan pengetahuan.
Dalam konteks Yogyakarta yang menyandang sebagai kota pendidikan, perpustakaan seharusnya menjadi salah satu instrument wajib termasuk budaya baca masyarakatnya sehinga menjadi ciri yang khas dan menonjol. Bagi yang sudah pernah ke Jepang (Jepang merupakan salah satu reverensi peradaban maju saat ini), atau oleh-oleh cerita dari sana, bagaimana masyarakat jepang memanfaatkan waktu untuk membaca. Di stasiun, di dalam kereta, saat menunggu antrean dan di fasilitas-faslitas public lainnya, mereka manfaatkan waktu yang ada untuk membaca. Budaya baca yang begitu tingi membuat orang yang pernah berkunjung ke sana merasa sangat terkesan, bahkan dapat menjadi media promosi yang sangat efektif tingginya budaya baca mereka.
Pertanyaannya sekarang adalah, “bagaimana dengan Yogyakarta dengan atribut sebagai kota pendidikan  yang disandangnya?” Saaat ini mungkin kita baru dapat membayangkan bahwa suatu saat nanti apa yang terjadi di Jepang dapat juga ditemui di Yogyakarta. Sehingga siapapun yang berkunjung ke Yogyakarta akan menebarkan ceritera tentang tingginya budaya baca dan barangkali dapat menjadi tambahan “oleh-oleh khas Yogyakarta” melengkapi gudeg, geplak, bakpia, batik dsb.
Sebagai kota multikultur yang notabene hampir semua wakil komunitas dari seluruh nusantara ada di sini, maka budaya/kebiasaan yang baik tentu akan menjadi referensi bagi siapapun yang menjumpainya. Dengan demikian maka usaha memasyarakatkan budaya baca menjadi sangat  efektif melaui promosi langsung para pengunjung di kota ini.
Rupanya gerakan gemar membaca tersebut disadari sepenuhnya dan ditindaklanjuti secara serius oleh pemerintah kota Yogyakarta. Dalam berbagai kesempatan, Walikota Yogyakarta mengkampanyekan tentang pentingnya membaca bagi masyarakat. Bukti nyata adalah dengan dibentuknya perpustakaan komunitas sampai tingkat RW, digulirkannya bantuan dana sosial untuk pengembangan perpustakaan masyarakat, serta secara kelembagaan ditingkatkannya pengelolaan perpustakaan daerah Kota Yogyakarta dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) menjadi Kantor Arsip dan Perpustakaan, sebagai lembaga pemerintah yang berfungsi sebagai motivator, dinamisator dan regulator kegiatan keperpustakaan di tingkat Kota Yogyakarta.
Seperti program-program pelayanan publik yang lainnya, berbagai kekhasan bentuk perpustakaan juga dujumpai di Yogyakarta. Selain perpustakaan komunitas yang berbasis sampai tingkat RW. Selain sebagai upaya mensukseskan peningkatan minat baca masyarakat sebagimana diamatkan oleh undang-undang no. 43 tahun 2007, adanya perpustakaan sampai tingkat “bawah” tersebut tentu akan membuka akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat. Dengan sendirinya perpustakaan juga diharapkan mampu menjadi media agen perubahan masyarakat dalam rangka mewujudkan masyarakat cerdas dan kritis yang didasari oleh wawasan luas, mempunyai apresiasi terhadap budaya dan lingkungan serta mendorong sikap moral yang semakin soleh dan santun. Disisi lain, secara praktis, informasi yang didapatkan dari perpustakaan juga dapat meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan sehingga masyarakat dapat lebih mandiri.
Selain perpustakaan komunitas yang menjamur sampai tingkat RW, yogyakarta juga mempelopori lahirnya perpustakaan lansia. Bahkan secara kelembagaan, perpustakaan lansia diakui sebagai yang pertama ada di Indonesia. Ini juga salah satu bukti bahwa belajar pada hakekatnya dapat dilakukan sepanjang hayat. Makna yang mulia dan tinggi dengan keberadaan perpustakaan lansia adalah merupakan cerminan semangat yang tidak pernah surut di usia senja mereka. Hal ini tentu harus menjadi cambuk bagi generasi muda, bahwa budaya membaca semestinya juga menjadi bagian bagi keseharian mereka. 
Dari berbagai sisi, Yogyakarta mempunyai modal yang cukup untuk mempelopori budaya membaca. Dukungan pemerintah, antusiasme masyarakat serta lingkungan akademis yang sangat kental menjadi daya dorong utama untuk menjadikan Yogyakarta menuju kota yang masyarakatnya mempunyai budaya baca yang tinggi. Meskipun di sisi lain, infrastruktur yang ada belum mendukung sepenuhnya, namun dengan semangat masyarakat di segenap lini, bukan hal yang mustahil bahwa Yogyakarta dapat menjadi pelopor budaya gemar membaca. Dari Yogyakarta, kita pelopori budaya gemar membaca. (fie')

Senin, 11 Februari 2013

patriotisme


Arti kata patriotisme adalah “cinta tanah air”. Demikian yang masih saya ingat pada penjelasan Pak Marno, guru Pendidikan Moral Pancasila (PMP) waktu di SMP dulu. Beliau kemudian mencontohkan sifat patriot, salah satunya harus belajar sebaik-baiknya untuk membangun negeri  menuju kemakmuran dan kesejahteraan. Sebuah contoh sederhana namun cukup besar makna yang terbersit didalamnya, melakukan apapun dengan sebaik-baiknya demi Indonesia tercinta. Apabila semua Warga Negara Indonesia memiliki “rasa patriotisme”, bisa dipastikan Pak Nil Maizar tidak akan kesulitan mencari pemain Timnas sepakbola, dan pastinya kita akan dapat menjuarai Piala AFF, Pak Samad juga tidak akan pusing dengan kasus Century, dan Hambalang, tentunya telah menjadi pusat bagi anak terbaik bangsa mengoptimalkan bakat serta kemampuannya,  karena semua langkah menuju satu tujuan, memakmurkan dan mensejahterakan rakyat dan membesarkan nama Indonesia.
Jadi kangen sama Pak Marno…(fie’)

Mampu


Mungkin kita perlu meredefinisikan lagi kata “mampu”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “mampu” diartikan sebagai kuasa (bisa, sanggup) melakukan sesuatu, dalam kehidupan sehari-hari, kata mampu lebih sering diartikan bahwa seseorang dapat atau sanggup melakukan sesuatu yang dilihat dari sudut pandang orang kedua atau ketiga.
Sering kita dengar dalam pembicaraan, “Si Fulan naik haji, karena dia sudah mampu, duitnya banyak, kalau saya mah belum mampu, buat anak sekolah saja berat rasanya.” Atau “Pekerjaan berat seperti ini dia yang mampu, saya tidak.”
Sedih memang, ketika kita mendengar kalimat itu, karena pada hakekatnya kita diberi kebebasan untuk mendefinisikannya sendiri. Kalau kita mendefinisikan diri sendiri sebagai orang yang tidak mampu, selamanya kita akan menjadi manusia tidak mampu. Sebaliknya kalau kita mendefinisikan diri sendiri, “mampu”, maka dengan segala kekuasaan dan kewenangan-Nya, Dia akan memberikan kita kemampuan. (fie’) 

Gong Xi Fat Chai


Melihat banyaknya pernak pernik menyambut Tahun Baru Imlek di pusat-pusat perbelanjaan, membuka sedikit kenangan masa kecil. Waktu itu saya masih kelas 4. 5, 6 Sekolah Dasar, kebetulan saya bersekolah di Yuk Yin Chinese School, Sabah Malaysia. Sekolah dengan bahasa pengantar Mandarin dan tentunya mayoritas murid disana adalah orang Tionghoa, hanya 4 orang dalam kelas saya yang bukan orang Tionghoa, saya, orang Indonesia, dan 2 temen saya yang lain orang Melayu-Kadazan (penduduk asli Sabah) dan satu lagi peranakan Filipina. Sebagai kalangan minoritas, kami tidak pernah merasa minoritas, bermain, belajar bersama, walau agak susah juga untuk mengikuti pelajaran, karena saya harus berfikir 2 kali untuk memahami bahasa dan materi.
Paling senang ketika “Tahun Baru Cina” (demikian kami menyebutnya umtuk Perayaan Imlek di sana saat itu), ramai-ramai bertandang ke rumah bapak ibu guru untuk mengucapkan “Gong Xi Fat Chai, Sin Nen Kuai Lek”, (sambil kedua tangan dikepal seraya sedikit membungkuk) kemudian disuguhi kue dan sirup dan pastinya menunggu Ang Pao yang akan diberikan sebelum kami pulang. Sebuah amplop merah kecil berisikan sejumlah uang sebagai hadiah menyambut perayaan. Tidak banyak jumlah uang didapat, tapi bahagia rasanya dapat merasa menjadi bagian dari keluarga.
Menjadi bagian dari keluarga, YA, itulah kata kunci bagaimana seseorang merasa memiliki dan dimiliki. Rasa yang sangat penting tertanam dalam sebuah pergaulan kelompok masyarakat, entah itu di lingkungan sekolah, kerja-kantor, atau komunitas sosial, apalagi di lingkungan keluarga dalam arti sesungguhnya. Dalam sebuah keluarga sudah selazimnya ibarat satu tubuh, dimana ada senang, susah, sedih dan gembira adalah dirasakan bersama. Bahkan ketika orang lain sedang mengalami kesulitan, jikalau kita tidak diminta atau tidak dapat membantu, setidaknya harus menunjukkan rasa empati. Perbedaan latar belakang apapun tidak selayaknya menjadi barier rasa dan sikap kesetiakawanan dalam kehidupan antar sesama makhluk dengan predikat “ukhridjat linnas” ummat terbaik di jagad ini. (fie’)

“Nek ngomong kudhu dipikir…”

Sebulan sudah kita lalui tahun 2013. Barangkali juga tepat jikalau secara pribadi maupun team kita perlu melakukan evaluasi dini terhadap apa yang barusan kita “canangkan” saat mengawali tahun baru 2013, yang pasti semua ingin keadaan yang lebih baik di tahun mendatang. Cobalah kita mulai dari keseharian kita, taruhlah dari hubungan interpersonal baik lisan maupun melalui berbagai jejaring sosial yang tidak lain juga mewakili lidah kita.
Saya jadi ingat, ada satu kalimat orangtua dalam bahasa Jawa yang sering disampaikan semasa kecil dulu dalam banyak kesempatan, ketika ada kata-kata yang saya ucapkan “mungkin” dirasa menyinggung teman atau saudara, “Nek ngomong kuwe dipikir sik…”. Sebuah kalimat sederhana, namun mengandung makna dan nasehat yang sangat dalam. Ada dua hikmah yang dapat diambil dari kata-kata tersebut, pertama, hendaknya kita berhati-hati dan santun dalam berbicara, pemilihan kata-kata yang tepat agar orang yang diajak bicara tidak tersinggung walaupun sebenarnya pesan yang akan kita sampaikan “mungkin” bukan yang diharapkan. Kadang, pesan yang sampai sama, namun akan ditangkap berbeda dengan pemilihan kata yang berbeda pula.
Kedua, materi atau pesan yang akan kita sampaikan, apakah harus kita sampaikan, perlu kita sampaikan, tidak perlu kita sampaikan atau bahkan memang bukan “porsi” kita untuk menyampaikan. Banyak kita jumpai, orang membicarakan hal yang bukan hak/porsinya, sehingga ketersinggungan atau bahkan fitnahlah yang terjadi.

Ditengah kehidupan yang “semua orang ingin bicara”, mungkin sebagian dari kita perlu menjadi orang yang “mau sabar mendengar” dan berbicara karena memang hak kita untuk menyampaikannya, dengan santun tentunya. Sehingga keharmonisan yang didamba setiap individu akan terwujud. Kalimat bijak juga sering kita dengar, “lidah tidak bertulang”, “mulutmu adalah harimaumu”, bahkan “diam adalah emas”, barangkali semakin menegaskan bahwa memang sudah seharusnya kita harus “Nek ngomong kudhu dipikir…” Semoga kita dapat “me-recovery” ucap yang terlalu acap terucap supaya lebih santun, bermakna, bermartabat dan bermanfaat. (fie’)

Gantari: Pusat Unggulan Naskah Kuno di Perpustakaan Kota Yogyakarta

Selayang Pandang Pusat Unggulan Naskah Kuno Gantari , yang bernaung di bawah Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Yogyakarta, merupakan ini...