Selasa, 15 Februari 2022

Sampah Rumah Tangga dan Pengelolaannya


“Kelolalah sampah dari sumbernya”, demikian ungkapan yang sering kita dengar apabila berbicara tentang sampah. Kalimat yang cukup sederhana, namun rumit dalam pelaksanaannya. Sampah merupakan “produk akhir” konsekuensi dari hasil aktivitas manusia, artinya, sampah akan menjadi kisah abadi di bumi selama ada aktivitas manusia di dalamnya. Dinamakan produk, karena sampah merupakan hasil produksi dari seberapa tinggi aktivitas kita dalam kehidupan sehari-hari. Volume sampah yang diproduksi sebanding dengan tingkat konsumsi kita terhadap material yang digunakan, Sehingga, merupakan hal yang wajar, apabila kewajiban mengelola sampah menjadi tanggung jawab kita semua. Supaya hasil akhir produksi yang sudah tidak diinginkan tersebut tidak menimbulkan permasalahan baru dalam kehidupan dan aktivitas sehari-hari.

Kembali pada ungkapan diatas, ternyata untuk mengelola sampah dari sumbernya tidaklah sesederhana ungkapannya, karena pada kenyataannya, pemahaman dan kesadaran saja tidak cukup. Apabila kita bicara tentang sampah, dibutuhkan lebih dari itu  untuk mewujudkan aksi nyata dan gerakan mengelola sampah. Hal ini ditunjukkan dari hasil survei Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta beberapa tahun lalu, dikatakan 80% masyarakat Kota Yogyakarta sadar akan pentingnya mengelola sampah, namun hanya 20% dari angka tersebut yang melakukan pengelolaan sampah. Hal ini menunjukkan bahwa banyak aspek dan konsekuensi yang mengiringi dalam penanganan sampah.

Setidaknya ada 3 alasan yang menjadi penyebabnya. Pertama, masyarakat belum “merasa perlu” untuk mengelola sampah secara mandiri, ambillah contoh, ketika pada tahun 2019, Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan tutup satu minggu, dan sampah menggunung di pinggir pinggir jalan area Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPSS), masyarakat masih saja merasa aman dan nyaman saja untuk memproduksi sampah seperti biasa, karena apa? Karena tak berpengaruh pada kondisi di rumah, rumah tetap bersih karena sampah rumah tangga tetap terangkut dengan baik oleh dinas terkait ataupun “jasa pengambil sampah bulanan”.

Kedua, aturan atau regulasi yang ada belum dapat “memaksa” masyarakat untuk mengelola sampah rumah tangganya secara mandiri, baik itu secara mikro atau kesepakatan rukun warga di lingkungan sekitar maupun regulasi yang lebih mengikat untuk mendorong aksi tersebut. Peraturan daerah dan atau peraturan walikota tentang pengelolaan sampah yang sudah terundangkan, belum memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat untuk tergerak mengelola sampah rumah tangganya sendiri mengingat aturan tersebut masih bersifat makro dan tidak memaksa.  

Ketiga, bagi sebagian besar masyarakat, aktivitas mengelola sampah bukanlah aktivitas yang diharapkan dapat memberikan dampak ekonomi secara signifikan, namun lebih pada aktivitas sosial. Secara umum, Bank Sampah yang dibentuk di setiap RW atau kampung lebih sebagai alternatif kegiatan “kumpul warga”, sehingga sampah yang terkumpul dan ditabung di Bank Sampah, lebih pada sampah yang mudah dibawa ke lokasi, “’nggo ilok ilok” kata orang Jawa, bukanlah sampah yang dikelola secara serius untuk mengurangi residu sampah yang nantinya diangkut oleh dinas terkait atau “jasa pengangkut sampah bulanan”.

 

Alternatif Pengelolaan Sampah

Dari ketiga alasan tersebut diatas, berikut pandangan yang dapat ditawarkan sebagai salah satu upaya untuk menggiatkan partisipasi masyarakat untuk ikut mengambil peran dalam pengelolaan sampah, khususnya sampah rumah tangga.

 

1. Edukasi secara dini, memilah sampah merupakan kewajiban.

Sekitar tahun 2000-an, dicanangkan Gerakan “Jogja Bersih dan Hijau, Wujudkan Nyata”, gerakan yang cukup masif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam rangka menciptakan harmonisasi kehidupan antara manusia dengan lingkungannya. Mewujudkan Yogyakarta yang bersih dan hijau merupakan tujuan dari gerakan tersebut. Sasaran tidak hanya pegawai pemerintah; masyarakat luas, anak sekolah pada semua tingkatan, diajak untuk berpartisipasi dalam gerakan tersebut.

Hasil yang dapat saya lihat sekarang adalah timbulnya kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya. Sebagai contoh kecil, tak segan si Kakak, demikian kami memanggilnya, membawa sampah (bungkus makanan) dalam tas sampai ke rumah untuk di buang di rumah, ketika tidak ditemukan tempat sampah di sekitarnya. Kebiasaan inilah yang ditanamkan di sekolah pada saat maraknya gerakan tersebut dan tetap berlanjut hingga kini.

Kiranya konsep gerakan tersebut perlu digalakkkan lagi dan dilanjutkan ke tahap berikutnya kepada anak-anak kita, pada semua tingkat pendidikan, mulai dari usia PAUD. Sedari dini dibiasakan tidak hanya membuang sampah pada tempatnya, namun juga untuk memilah sampah dan menaruhnya di tempat yang sudah semestinya.

 

2. Regulasi yang memaksa, tidak akan diambil sampah yang belum terpilah.

Kembali lagi pada ungkapan diawal tulisan, “kelolalah sampah dari sumbernya”, apabila hal ini dapat dilakukan dari rumah, dapat dipastikan sampah yang dibuang ke TPA akan jauh berkurang. Kegiatan pemilahan sampah dapat dilakukan di rumah, hal ini tentunya membutuhkan usaha lebih dari masyarakat, sehingga apabila tidak dipaksakan maka jarang ada keluarga yang akan melakukannya. Berkaca dari kebijakan pengelolaan sampah di Negara Jepang, bahwa otoritas yang bertugas memungut sampah rumah tangga tidak akan mengambil sampah apabila belum terpilah. Apabila hal ini juga dilakukan di Indonesia, pastinya masyarakat akan melakukan pemilahan sampahnya secara mandiri di rumah.

Untuk mewujudkan hal yang demikian, setidaknya diperlukan koordinasi, kolaborasi dan sinergi antar pihak, pemerintah, swasta dan masyarakat. Pemerintah dapat mengeluarkan regulasi yang mengatur tata cara pengelolaan (dan pengambilan) sampah oleh institusi yang berwenang dan lembaga swasta dan atau wiraswasta yang memiliki usaha di bidang persampahan (pengepul atau pemungut sampah bulanan misalnya). Dan tak kalah pentingnya, mengaktifkan perangkat yang ada di masyarakat (RT, RW dan Dasawisma) untuk berpartisipasi dan bersama sama secara aktif menegakkan regulasi tersebut.

 

Penutup

Tidak mudah memang untuk mengelola sampah, apalagi dalam era pandemi covid yang sudah berlangsung 2 tahun ini, dimana produksi sampah semakin meningkat dengan alasan protokol kesehatan. Tapi bukan berarti kita tidak bisa untuk melakukannya, tidak cukup pemahaman dan pengetahuan tentang pentingnya mengelola sampah secara mandiri pun pengetahuan tentang bagaiman caranya, namun yang lebih penting adalah bagaimana kita bisa tergerak untuk mengimplementasikan pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki dalam aksi yang lebih nyata. Karena mengelola sampah, menjaga bumi ini, adalah tanggung jawab kita bersama. Awareness - Action - Agent. (fie’)

 

Tidak ada komentar:

Gantari: Pusat Unggulan Naskah Kuno di Perpustakaan Kota Yogyakarta

Selayang Pandang Pusat Unggulan Naskah Kuno Gantari , yang bernaung di bawah Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Yogyakarta, merupakan ini...