Selasa, 22 Februari 2022

S A H A B A T

 


Supaya engkau mendapat sahabat, hendaklah diri engkau sendiri sanggup menyempurnakan menjadi sahabat orang.

- Buya Hamka -




Bermula pada akhir tahun 1999, tiba-tiba Ety dan Titi, sahabat satu kelas sewaktu kulaih di IKIP Yogyakarta, berkunjung ke rumah kontrakan di Ngemplak, Karangjati, Sleman. Rumah kontrakan yang merupakan gandhok atau rumah tambahan dari satu rumah besar dengan model Joglo. Rumah yang sekat antar ruangannya masih menggunakan gedhek atau anyaman bambu yang diberi bingkai kayu di sisi luarnya supaya terlihat lebih rapi, dan atap tanpa plafon, sehingga kalau hujan sedikit lebat, debu dan gumpalan kecil sawang akan ikut jatuh mengotori ruangan kecil berukuran 8 x 4 meter persegi.

Kunjungan yang tanpa didahului kabar itu cukup mengejutkan, tanpa persiapan jamuan yang memadai, akhirnya menu sayur bayam ceker “dek Ayang” lah yang menjadi hidangan utama menjamu tamu agung pada hari itu, ditambah gorengan tempe garit dan sambel terasi hasil ulekan tangan. Seneng dan bersyukur dijenguk sahabat yang lama tak bertemu, rasa kangen terobati dengan curhatan dan nostagi guyonan kisah masa lalu tentang “MM”, Epis dan beberapa nama lain disebutkan yang terujar kala itu (dan sampai kini… hahaha). Diantara tawa dan ceriwis heboh, terselip juga rasa malu dan enggan dengan keadaan rumah kontrakan tanpa perabot yang layak untuk menyambut tamu yang sudah berprofesi sebagai dosen dan guru. Namun lambat laun perasaan itu terkikis dan hilang, bukan karena akhirnya masa bodo, tapi karena perasaan sayang dan pemahaman yang mendalam tersirat dari senyum dan sorot mata mereka. Tidak terbersit sedikitpun tatapan apalagi kata-kata yang merendahkan tentang kondisi rumah ku saat itu, malah pujian tentang enaknya masakan yang kubuat sampai pada pandainya mengatur rumah yang sederhana menjadi tempat yang nyaman untuk dihuni yang terucap dan teringat hingga kini.

Di rumah itulah, Titi, yang sekarang sudah menjadi DR. Titi (bentar lagi Guru Besar nich…) mencetuskan ide Arisan, tujuannya sederhana, untuk menjaga silaturahmi dan persaudaraan yang sudah terjalin sejak tahun 1991, toh jarak antara Jogja – Purworejo bukanlah jarak yang jauh, cukup 2 jam berkendara. Ide yang kemudian dikuatkan lagi, ketika setelahnya kami secara mendadak juga berkunjung ke rumah mbak Yani di Jalan Monjali sana. Arisan yang kemudian berlangsung hingga kini, dengan segala kisah dan dinamikanya.

Dapat dikatakan, arisan inilah yang merekatkan silaturahmi diantara kami. Arisan yang dimulai ketika masih pada single (kecuali mbak Yani dan saya, hihihi…) sampai kini putra putri kami sudah beranjak dewasa. Pada awalnya anggotanya hanya kami berempat, Ety, Titi, Mbak Yani dan saya, kemudian Ety mengajak First Ieda, sahabat satu kost dan sahabat kami semua ketika ngaji di Pondok Pesantren Budi Mulia sebagai santri kalong UMJ (Universitas Malam Jum’at), karena nyantri hanya pada malam Jum’at. Tak lama berselang, Rya adik tingkat di IKIP ikut bergabung dan Alhamdulillah, akhirnya terlacak keberadaan dek Uut setelah hampir dua puluh tahun hilang kabar, menjadi bagian dari silaturahmi kami yang kemudian di WA Grup diberi judul “UMJ Jelita”, Universitas Malam Jum’at – Jelang Lima Puluh Tahun.

Persahabatan kami cukup unik, dengan berbekal arisan itulah, pertemuan demi pertemuan kami lewati, walau tidak bisa dikatakan rutin, karena tidak mesti dua atau tiga bulan sekali sesuai kesepakatan. Pertemuan yang tidak hanya sebagai ajang “setor arisan” tapi pertemuan yang menumbuhkan perasaan bahwa kami tidak sendiri, ada sahabat-sahabat yang dengan penuh rasa sayang dan cinta mendukung dan membantu dalam setiap perjalanan kehidupan. Walaupun kami tidak senantiasa ada disamping dan jarang juga berkabar, tapi rasa memiliki teman yang ketika dibutuhkan walau hanya untuk menguatkan akan selalu ada. Mungkin inilah yang disebut sebagai support system. Satu komunitas “cheerleaders” kecil yang selalu menjadi pendorong, penyemangat dan pengingat kami dalam menjalani artikulasi kehidupan kami masing-masing. Tidak perlu ada disamping kita, tapi yakin bahwa kami selalu ada untuk kita.

Persahabatan kami cukup menarik, kami saling menjaga dengan cara kami sendiri sendiri. Saling mencoba untuk tidak menyakiti, menjaga hati dan ucapan, tertulis maupun terujar. Namun tidak dipungkiri, dalam dinamika perjalanan persahabatan kami, sesekali timbul permasalahan dan gesekan. Sekelumit cerita, pandemi yang hadir lebih dari 2 tahun, memaksa kami menghentikan pertemuan tatap muka, sehingga kabar berita hanya dilakukan secara maya, tanpa jabat tangan dan pelukan. Kesibukan di masa pandemi, sedikit banyak mengubah cara pandang dan pola fikir dari masing-masing kami, perbedaan cara pandang dan cara menyampaikan pandangan yang hanya lewat tulisan dan re-postingan di Grup “UMJ Jelita” terasa sekali dampaknya. Penuturan bahasa yang biasa halus dan mudah dicerna, terasa menggurui, merendahkan dan mengganggu. Bukannya tidak ingin menerima pandangan baru yang berkembang, namun lebih pada cara yang dipilih dalam mengutarakan pendapat dan pandangannya. “You can lead a horse to water but you can't make him drink”, demikian pepatah yang saya dapat sewaktu kuliah. Sebagian besar dari kami memilih diam, dan diam kami tidak cukup memberikan isyarat ketidaknyaman kami. Itulah dampak lain dari teknologi, kami bisa bertemu dan berkomunikasi kapan pun dan dimanapun, namun tidak bisa menitipkan rasa dan emosi yang tersirat.

Kini telah 31 tahun usia persahabatan kami, dan telah 23 tahun usia “arisan” kami, dengan profesi dan kehidupan keluarga masing-masing, kami masih bersahabat, bertindak, berperilaku dan berbicara selayaknya seorang sahabat, saling sayang menyayangi, saling menjaga dan saling memberi bantuan dan dukungan. Tidak ada persaingan, iri, dengki dan rasa cemburu diantara kami. Selalu mencoba mengalah untuk menepikan perbedaan pandangan yang ada. Mengambil tulisan Buya Hamka dalam salah satu karya besarnya, “supaya engkau mendapat sahabat, hendaklah diri engkau sanggup menyempurnakan menjadi sahabat orang”, dan kami senantiasa berusaha untuk itu. (fie’)


Tidak ada komentar:

Gantari: Pusat Unggulan Naskah Kuno di Perpustakaan Kota Yogyakarta

Selayang Pandang Pusat Unggulan Naskah Kuno Gantari , yang bernaung di bawah Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Yogyakarta, merupakan ini...