Halaman depan rumah kami di Slawi tidak begitu luas, hanya lebar
2,5 meter dari pintu depan. Teras yang biasa buat saya dan temen teman main
yeye atau bola bekel dan juga buat kami duduk duduk sambal jaga warung hanya
sekitar 1,5 meter, dan sisanya berupa tanah, baru kemudian pagar. Pagar yang
apabila sudah waktunya pengecetan, terjadi perbedaan pendapat terkait warna
antara selera bapak dan ibu. Hihihi... Bapak ingin dicat warna biru dan krem,
warna Muhammadiyah, kata beliau, maklum Bapak adalah Pengurus Pimpinan Daerah
Muhammadiyah Kabupaten Tegal. Sedang ibu, penginnya warna putih, bersih kata
ibu, dan selera ibu, menurun pada saya. Warna rumah ya putih. Resik. Turunan
londho kata Bapak, opo opo putih.😊
Di halaman tanah, ditanami Bapak berbagai macam tumbuhan, ada
pohon jambu Bangkok, pohon delima merah, pohon melati dan beberapa pohon bunga
yang saya lupa apa namanya. Bapak sangat telaten dalam merawat tanaman. Hampir
semua tumbuhan yang ditanam Bapak, tumbuh subur. Banyak orang bilang, tangan
Bapak itu “adem”. Pohon jambu Bangkok, yang walaupun ditanam di lahan sempit
sisa teras, tumbuh subur, berbuah besar-besar, banyak lagi, sehingga “panen”
tidak hanya sekali dua kali, tapi sering. Bahkan tidak jarang “diambil”
anak-anak sekolah yang lewat depan rumah. Saking telatennya, pohon jambunya kadang
disemprot air sabun detergen untuk menghilangkan hama, ujar Bapak menerapkan
resep sales deterjen SS88, merk sabun yang cukup digemari ibu-ibu kala itu. Saya
dan Ita, adik saya hanya ketawa terbahak-bahak, mosok tho Pak?…
Begitu juga delima, yang walaupun tidak begitu tinggi
pohonnya dengan daun yang kecil kecil dan jarang, namun sering sekali berbuah.
Bahkan cukup banyak, saat buahnya masih kecilpun, sudah “dicup” kata orang Slawi atau dicim, oleh ibu-ibu yang sedang hamil
muda, buat rujak tujuh bulanan katanya. Karena memang buah delima sulit
ditemukan di Slawi kala itu.
Yang menjadi ingatan saya sampai sekarang adalah pohon
melati yang ditanam Bapak. Bapak senang sekali dengan harum bunganya, bahkan
wewangian yang dikenakan Bapak beraroma melati, merk VIVA kalau tidak salah
waktu itu. Ditanam tepat disisi paling utara, dekat dengan pintu pagar. Pohon
melati yang hampir setiap hari berbunga, dan hampir setiap hari juga akan saya
petik dan diletakkan di meja di ruang tamu. Tak jarang juga orang yang lewat
depan rumah ikut meminta dan memetiknya. Saat ini pohon jambu dan delima sudah
tidak ada lagi di depan rumah, tidak demikian dengan bunga melati yang ditanam
bapak, sampai sekarang masih tumbuh dan berbunga, walaupun tidak sesubur dulu.
Cangkokan pohon melati itu juga yang saya bawa ke Jogja, ditanam oleh ayahnya
anak-anak di dekat pagar rumah. Dahan dan rantingnya menjalar di pagar dan
sesekali berbunga mengeluarkan harum melati kesukaan Bapak.
Tidak hanya di depan rumah, di foip belakang rumah, dekat
dengan sumur, juga berbagai macam tanaman menjadi koleksi Bapak. Ada jenis monstera,
aglonema, sansiviera, suplir, dan tanaman yang digantung-gantung yang saya
tidak tahu namanya sampai sekarang. Suplir sengaja Bapak tanam khusus buat ibu,
katanya, “Ibu mu ki seneng karo suplir”
pernah Bapak bercerita ketika saya membantu memindahkan tanaman suplir ke pot
yang lebih besar. Sehingga tak heran, setidaknya ada 4 jenis suplir yang
ditanam Bapak, buat koleksi ibu.
Setiap sore, bakda ashar, saya atau kakak saya, mas Anton, bertugas
menyirami semua tanaman tanaman itu, dengan ember berukuran sedang, kami siram
satu satu tanaman-tanaman bapak, kalau sedang rajin, bisa bolak balik mengangkut
ember untuk menyiram, biar tanamannya seger, disiram dengan menggunakan banyak
air. Tapi kalau sedang “malas” atau keburu mau main, satu ember bisa untuk
semua tanaman.
Tidak ada jadwal pasti, siapa yang akan bertugas menyirami
tanaman, sehingga kami kadang suka lupa atau melupakan dan bermalas-malasan. Dan
apabila itu terjadi, kata-kata sakti Bapak adalah "Banyak orang suka akan keindahan, tapi sedikit orang yang mau berbuat
untuk keindahan". Kalimat yang hampir dihafal oleh semua anak-anaknya,
bahkan oleh ibu. Kalimat yang selalu saya ingat ketika malas untuk beberes atau
menata rumah, kalimat ini juga yang kadang saya ucapkan pada anak-anak apabila
mereka dalam kondisi yang sama.
Apabila dicerna lebih jauh, kalimat ini sangat relevan
dengan kondisi sekarang, dimana hampir semua orang menyukai keindahan, tidak
hanya keindahan akan adanya tanaman dan bunga-bunga atau taman, tapi juga
keindahan lingkungan yang lain, kebersihan salah satunya, tempat atau area atau
ruang yang bersih, rapi dan tertata pasti akan tampak indah. Sebaliknya, tempat
yang kotor akan mengurangi keindahannya.
Namun benar apa yang disampaikan Bapak, banyak orang suka akan keindahan, tapi
sedikit orang yang mau berbuat untuk keindahan. Dalam masalah sampah
misalnya, permasalahan kebersihan yang sedang dihadapi saat ini di hampir semua
daerah. Semua orang sepakat, bahwa sampah harus diolah, pemahaman dan kesadaran
akan pentingnya mengelola sampah mulai dari sumbernya sudah jamak diketahui. Prinsip
3 R (Reuse – Reduce – Recycle) dan
pentingnya memilah sampah sudah cukup difahami. Yang masih kurang adalah
kemauan untuk mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Aksi nyata yang disadari
akan memberikan dampak pada lingkungan masih enggan dilakukan.
Apa perlu kalimat Bapak ditulis di Baliho besar, untuk mengingatkan dan menjadi slogan?
“Banyak orang suka akan keindahan, tapi sedikit orang yang mau berbuat untuk keindahan” adalah nyata adanya. (fie’)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar