Kamis, 30 Oktober 2025

Ini Tentang Pak Anwas #7: Tentara Pelajar

 

Mungkin, hampir setiap anak kecil memiliki kenangan seperti yang kami alami, nonton televisi di ruang keluarga dan tertidur, ajaibnya, ketika terbangun sudah berada di kamar. Heran? Ya tidaklah, Karena kami tahu, siapa lagi lah kalau bukan Bapak yang memindahkan kami. Bahkan terkadang, kami pura pura tertidur di depan televisi, karena yakin, pasti akan digendong Bapak ke kamar, rasanya seneng aja digedong, walaupun sudah kelas tiga SD waktu itu. Momen sederhana yang selalu diingat dan sering menjadi bahan cerita keluarga saat kami mudik, berkumpul di depan televisi di rumah Ibu di Slawi.

Tidak hanya itu, kebiasaan Bapak menyanyikan tembang macapat, Dandanggula menjelang tidur atau saat mati lampu, juga sering menjadi topik pembicaraan kami, anak-anaknya. Rasanya baru kemaren, suara Bapak nembang kami dengar berulang-ulang, sampai sampai, Ita, hafal betul nada dan lirik tembang Dandanggula. Selain nembang, mendongeng juga menjadi kebiasaan Bapak sebelum kami terlelap. Ada saja yang diceritakan Bapak, mulai dari cerita wayang, cerita Abu Nawas, atau dongeng kancil. 

Diantara banyak dongeng, dongeng Kancil lah yang menjadi favorite Bapak, tidak hanya Kancil Nyolong Timun, Kancil Mlebu Blumbang atau Kanci Lawan Keong juga bolak balik diceritakan. Malah terkadang Bapak mengarang sendiri jalan cerita kancilnya. Yang menarik dan lucu dari Bapak ketika bercerita adalah mimik suara yang disesuaikan dengan tokoh dalam cerita. Namun ada yang lebih lucu, yakni mungkin ketika bahan mendongeng habis, dan anak-anaknya minta “didongengin”, Bapak akan mendongeng “Kisah Ono Kaji”, dongeng singkat dengan paragraph yang diulang. Ceritanya: “Ono kaji nduwe anak siji, njaluk ndongeng, le ndongenke: ono kaji, nduwe anak siji, njaluk ndongeng, le ndongengke…” dan begitu seterusnya…”  😊

Selain mendongeng, Bapak juga kerap kali bercerita tentang pengalaman beliau ketika menjadi Tentara Pelajar di Jogja dulu. Bersama para pejuang lainnya, beliau ikut bergerilya, mengangkat senjata, berperang melawan tentara Jepang, membela dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Nek pas perang, pilihannya cuma dua, nembak atau ditembak”, “apalagi kalau malam, ada suara peluru, ndak tau siapa yang nembak atau ditembak, gelap, lha wong di hutan.” demikian cerita bapak kala itu. Terlihat jelas kebanggaan dalam raut wajahnya, apalagi ketika menceritakan pernah beliau diutus pimpinan untuk mengirimkan surat ke Soeharto. “Soeharto Presiden itu Pak?” tanya saya waktu itu, “Iya, ning durung dadi presiden.” 

Usia Pak Anwas masih sangat belia ketika menjadi anggota Tentara Pelajar. Tak heran jika jiwa patriotisme, cinta tanah air dan nasionalisme tertanam dalam di hati Bapak. Mungkin, itulah sebabnya ketika kami di Sabah, kami tetap menjadi Warga Negara Indonesia, walaupun perpanjangan visa rutin dilakukan selama bertahun-tahun. Tawaran dan bujukan dari rekan kerja maupun murid-murid dan anak asuh bapak untuk berpindah kewarganegaraan tak jarang datang, dengan “iming-iming” hidup bisa lebih makmur dan mudah bagi anak-anak bersekolah tinggi apabila berwarga negara Malaysia. Karena di Malaysia, beasiswa sekolah dalam dan luar negeri, pastinya mempersyaratkan kewarganegaraan.

Tidak hanya sekali, ibu mengajak bapak untuk berpindah kewarganegaan. Bujukan ibu datang, ketika Mas Anis, Kakak ketiga saya terpilih untuk menjadi duta mewakili Malaysia pada Perkemahan Pandu Putra (Boys Scout International) di Australia. Ketika semuanya sudah siap, hanya tinggal menunggu hari, mas Anis tidak diizinkan untuk berangkat, karena menggunakan paspor hijau, paspor Negara Indonesia. Tidak hanya sekali mas Anis batal “sekolah” keluar negeri karena paspor hijau, sesaat setelah lulus dari Sekolah Menengah Kebangsaan Menggatal, Kota Kinabalu, dengan memperoleh nilai kelulusan tertinggi se-Negara Bagian Sabah, (memang pinter banget yang namanya mas Anis itu… hihihi 😊), beasiswa studi lanjut ke negara Belgia terpaksa dilepas.

Ada ungkapan Hubbul Wathan Minal Iman, yang berarti "mencintai tanah air adalah bagian dari iman," menekankan bahwa patriotisme adalah wujud keimanan. Meskipun bukan hadis, maknanya tetap diterima karena tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Cinta tanah air dipandang sebagai sesuatu yang alami dan selaras dengan perintah untuk menjaga dan memakmurkan bumi.

Kenangan tentang Bapak sebagai Tentara Pelajar bukan hanya kisah masa lalu, tetapi juga warisan nilai yang hidup hingga kini. Dari bapak, kami belajar arti keberanian, kejujuran, dan kesetiaan — bukan semata kepada bangsa, tetapi juga kepada ajaran agama yang menuntun agar cinta tanah air menjadi bagian dari keimanan.

Dalam pandangan Islam, mencintai tanah air bukanlah bentuk fanatisme sempit, melainkan wujud rasa syukur atas nikmat Allah. Menjaga negeri, menebar kebaikan, dan membangun kehidupan yang damai adalah bagian dari amal saleh. Sebagaimana para pejuang terdahulu berjuang dengan semangat jihad fisabilillah, kita pun hari ini dipanggil untuk berjihad dengan ilmu, kejujuran, dan pengabdian di bidang masing-masing. (fie’)

Selamat Hari Pahlawan, 10 Nopember 2025.


Tidak ada komentar:

Tentang Pak Anwas #9: Islam Mengajarkan Demikian

  Sabah adalah negara bagian yang kami tempati ketika tinggal di Malaysia, tidak hanya di Kota Kinabalu, Ibukota negara Bagian Sabah, bebera...