Mungkin, hampir
setiap anak kecil memiliki kenangan seperti yang kami alami, nonton televisi di
ruang keluarga dan tertidur, ajaibnya, ketika terbangun sudah berada di kamar. Heran?
Ya tidaklah, Karena kami tahu, siapa lagi lah kalau bukan Bapak yang
memindahkan kami. Bahkan terkadang, kami pura pura tertidur di depan televisi,
karena yakin, pasti akan digendong Bapak ke kamar, rasanya seneng aja digedong,
walaupun sudah kelas tiga SD waktu itu. Momen sederhana yang selalu diingat dan
sering menjadi bahan cerita keluarga saat kami mudik, berkumpul di depan
televisi di rumah Ibu di Slawi.
Tidak hanya itu, kebiasaan Bapak menyanyikan tembang macapat, Dandanggula menjelang tidur atau saat mati lampu, juga sering menjadi topik pembicaraan kami, anak-anaknya. Rasanya baru kemaren, suara Bapak nembang kami dengar berulang-ulang, sampai sampai, Ita, hafal betul nada dan lirik tembang Dandanggula. Selain nembang, mendongeng juga menjadi kebiasaan Bapak sebelum kami terlelap. Ada saja yang diceritakan Bapak, mulai dari cerita wayang, cerita Abu Nawas, atau dongeng kancil.
Diantara
banyak dongeng, dongeng Kancil lah yang menjadi favorite Bapak, tidak hanya Kancil
Nyolong Timun, Kancil Mlebu Blumbang atau Kanci Lawan Keong juga bolak balik diceritakan. Malah terkadang
Bapak mengarang sendiri jalan cerita kancilnya. Yang menarik dan lucu dari Bapak
ketika bercerita adalah mimik suara yang disesuaikan dengan tokoh dalam cerita.
Namun ada yang lebih lucu, yakni mungkin ketika bahan mendongeng habis, dan anak-anaknya
minta “didongengin”, Bapak akan
mendongeng “Kisah Ono Kaji”, dongeng
singkat dengan paragraph yang diulang. Ceritanya: “Ono kaji nduwe anak siji, njaluk ndongeng, le ndongenke: ono kaji,
nduwe anak siji, njaluk ndongeng, le ndongengke…” dan begitu seterusnya…” 😊
Selain
mendongeng, Bapak juga kerap kali bercerita tentang pengalaman beliau ketika
menjadi Tentara Pelajar di Jogja dulu. Bersama para pejuang lainnya, beliau ikut
bergerilya, mengangkat senjata, berperang melawan tentara Jepang, membela dan mempertahankan
kemerdekaan Republik Indonesia.
“Nek pas perang, pilihannya cuma dua, nembak atau
ditembak”, “apalagi kalau malam, ada
suara peluru, ndak tau siapa yang nembak atau ditembak, gelap, lha wong di
hutan.” demikian cerita bapak kala itu. Terlihat jelas kebanggaan dalam
raut wajahnya, apalagi ketika menceritakan pernah beliau diutus pimpinan untuk
mengirimkan surat ke Soeharto. “Soeharto Presiden itu Pak?” tanya saya waktu
itu, “Iya, ning durung dadi presiden.”
Usia Pak
Anwas masih sangat belia ketika menjadi anggota Tentara Pelajar. Tak heran jika
jiwa patriotisme, cinta tanah air dan nasionalisme tertanam dalam di hati
Bapak. Mungkin, itulah sebabnya ketika kami di Sabah, kami tetap menjadi Warga
Negara Indonesia, walaupun perpanjangan visa rutin dilakukan selama
bertahun-tahun. Tawaran dan bujukan dari rekan kerja maupun murid-murid dan
anak asuh bapak untuk berpindah kewarganegaraan tak jarang datang, dengan
“iming-iming” hidup bisa lebih makmur dan mudah bagi anak-anak bersekolah
tinggi apabila berwarga negara Malaysia. Karena di Malaysia, beasiswa sekolah
dalam dan luar negeri, pastinya mempersyaratkan kewarganegaraan.
Tidak hanya
sekali, ibu mengajak bapak untuk berpindah kewarganegaan. Bujukan ibu datang,
ketika Mas Anis, Kakak ketiga saya terpilih untuk menjadi duta mewakili
Malaysia pada Perkemahan Pandu Putra (Boys
Scout International) di Australia. Ketika semuanya sudah siap, hanya
tinggal menunggu hari, mas Anis tidak diizinkan untuk berangkat, karena
menggunakan paspor hijau, paspor Negara Indonesia. Tidak hanya sekali mas Anis
batal “sekolah” keluar negeri karena paspor hijau, sesaat setelah lulus dari
Sekolah Menengah Kebangsaan Menggatal, Kota Kinabalu, dengan memperoleh nilai
kelulusan tertinggi se-Negara Bagian Sabah, (memang pinter banget yang namanya
mas Anis itu… hihihi 😊),
beasiswa studi lanjut ke negara Belgia terpaksa dilepas.
Ada ungkapan Hubbul Wathan Minal Iman, yang berarti
"mencintai tanah air adalah bagian dari iman," menekankan bahwa
patriotisme adalah wujud keimanan. Meskipun bukan hadis, maknanya tetap diterima
karena tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Cinta tanah air
dipandang sebagai sesuatu yang alami dan selaras dengan perintah untuk menjaga
dan memakmurkan bumi.
Kenangan tentang Bapak sebagai
Tentara Pelajar bukan hanya kisah masa lalu, tetapi juga warisan nilai yang
hidup hingga kini. Dari bapak, kami belajar arti keberanian, kejujuran, dan
kesetiaan — bukan semata kepada bangsa, tetapi juga kepada ajaran agama yang
menuntun agar cinta tanah air menjadi bagian dari keimanan.
Dalam pandangan Islam, mencintai
tanah air bukanlah bentuk fanatisme sempit, melainkan wujud rasa syukur atas
nikmat Allah. Menjaga negeri, menebar kebaikan, dan membangun kehidupan yang
damai adalah bagian dari amal saleh. Sebagaimana para pejuang terdahulu
berjuang dengan semangat jihad
fisabilillah, kita pun hari ini dipanggil untuk berjihad dengan ilmu,
kejujuran, dan pengabdian di bidang masing-masing. (fie’)
Selamat Hari Pahlawan, 10 Nopember 2025.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar