Selasa, 09 Desember 2025

Tentang Pak Anwas #9: Islam Mengajarkan Demikian

 

Sabah adalah negara bagian yang kami tempati ketika tinggal di Malaysia, tidak hanya di Kota Kinabalu, Ibukota negara Bagian Sabah, beberapa daerah pernah juga kami tempati, tentunya karena mengikuti tempat tugas Bapak. Bapak pernah bertugas di United Sabah Islamic Association (USIA) dan Majlis Ugama Islam Sabah (MUIS) ketika di Kota Kinabalu, dan lama bertugas di Pusat Latihan Dakwah Keningau (PLDK). Hampir semua tempat kerja bapak, dapat dikatakan berurusan dengan urusan agama islam. Walaupun sebelumnya, pernah bekerja di Kebun Kelapa Sawit cerita ibu.

Tempat pertama yang kami tempati adalah Sembulan, di wilayah Kota Kinabalu, ibukota negara bagian Sabah, walaupun kata ibu, jauh sebelumnya, sudah tinggal di beberapa tempat diluar Kota Kinabalu. Masih tergambar dalam benak saya, rumah di Sembulan kala itu, rumah panggung dengan 2 tangga yang relatif tinggi bagi saya waktu itu, satu ada depan rumah, satu lagi di samping teras, berwarna hijau muda dan terbuat dari kayu. Lokasi rumah yang tidak jauh dari kantor Bapak, membuat bapak sering pulang makan siang di rumah. Kebiasaan pulang untuk makan siang, terbawa sama akhir masa hidup beliau. Kalau bapak pulang, ibu akan membuka tudung saji plastik warna biru tua di meja makan, dan pastinya sudah tersaji berbagai jenis makanan hasil masakan ibu. Dan tudung saji itu jugalah yang sering saya dan Mas Anton, kakak saya pakai untuk main kapal-kapal.

Di sembulan, banyak kakak kakak pelajar atau penuntut. Demikian kami menyebutknya, yang sering berkunjung ke rumah, selain silaturahmi, mereka juga membeli bahan dan menggunakan jasa jahitan baju ke ibu. Salah satunya yang masih saya ingat bernama Kakak Gayah, beliau sering sekali membawakan saya sate paru kalau berkunjung ke rumah. Ketika di Sembulan, ibu punya usaha menjual kain sekaligus menjahitkan baju pesanan. Kain atau bahan jualan ibu di-drop oleh abang abang India, yang kalau ke rumah bawaannya tas kain besar yang dibuat menjadi tas, yang kemudian berbagai macam jenis dan motif kain akan dihamparkan di ruang tamu. Kemudian, ibu “kulakan” kain dan dijual ke kakak kakak penuntut, tidak hanya dijual dalam bentuk kain, ibu sekaligus membuka jasa jahitan, jadi kain yang dibeli sekaligus menjadi Baju Kurung, baju khas Malaysia. Lumayan sebagai tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan rumah.

Setelah dari Sembulan, kami berpindah di daerah Tanjung Aru, rumah yang dekat dengan lokasi wisata pantai, tepat di seberang jalan ada lapangan pacuan kuda yang kalau sore, beberapa kali, saya dengan 2 kakak laki-laki saya, mencari bola golf bekas di lapangan tersebut, karena di tengah-tengah lapangan juga sering digunakan untuk latihan golf orang-orang. Rumah berbahan bata merah dengan cat tembok warna pink muda dengan pintu dan daun jendela berwarna putih itu memiliki halaman depan rumah sangat luas, ada ayunan besi warna putih di samping pintu dan pagar samping rumah yang jarang dibuka penuh.

Ibu, Mas Anton, Ita dan saya di
rumahTanjung Aru 

Peristiwa yang masih saya ingat sampai sekarang ketika tinggal di Tanjung Aru adalah saya sering dijemput Ibu Konsulat Republik Indonesia kala itu untuk menginap di rumahnya. Dan kalau lomba tujuh belasan, Keluarga Anwas memborong berbagai macam hadiah, karena hampir semua perlombaan dimenangkan oleh kakak kakak saya. Tidak hanya itu, lagu “Mengheningkan Cipta” dengan suara gesekan biola juga pertama kali saya dengar ketika kami tinggal di Tanjung Aru.  

Kemudian, ketika saya menginjak kelas 2 Sekolah Dasar, kami berpindah ke Keningau, daerah pedalaman yang berada relatif jauh dari keramaian kota, sampai saya lulus Sekolah Dasar. Di Keningau, ibu menyekolahkan saya dan Mas Anton, kakak laki-laki saya di Sekolah Rendah jenis Kebangsaan (SRJK) Yuk Yin Keningau, sekolah dengan bahasa pengantar bahasa Mandarin. Itulah kemudian, ketika awal tahun 1985, kami berpindah ke Likas, Kota Kinabalu, saya harus mengikuti Kelas Peralihan selama satu tahun di Sekolah Menengah Kebangsaan (SMK) Likas, Sabah. Kelas Peralihan dimaksudkan semacam kelas matrikulasi penyesuaian bahasa pengantar di sekolah, karena SMK Likas berbahasa pengantar Bahasa Inggris. Tidak lama di Likas, akhirnya, pada bulan Oktober 1985 kami balik ke Slawi, Tegal tepat ketika saya masuk kelas 1 di SMP Negeri 1 Slawi.

Bukanlah hal yang mudah, ketika pertama kali masuk sekolah di Indonesia, walaupun kami sudah di Slawi pada bulan Oktober, tapi saya, kakak kakak dan adik saya baru bisa bersekolah di bulan Februari tahun berikutnya. Masa tunggu yang relatif lama bagi kami untuk bersekolah, saya habiskan dengan bermain dengan tetangga rumah, dan itu juga hanya bisa pada sore hari, karena kalau pagi, temen temen bersekolah. Sehingga waktu ashar adalah waktu yang sangat saya nantikan, karena setelah ashar, waktu bermain kami dimulai.

Lamanya waktu tunggu, karena ternyata tidak mudah mengurus perpindahan sekolah antar negara. Masih ingat ketika Bapak harus bolak balik ke Jakarta, Semarang, dan Pekalongan untuk mengurus perpindahan sekolah kami. Saya pernah diajak bapak ke Semarang untuk mengurus perpindahan sekolah, naik bis Coyo, bis patas “paling elite” di masa itu, pagi pagi sekali. Hanya mengikuti bapak ke kantor kantor, menunggu lama, dan kemudian sore hari sudah balik lagi ke Slawi.

Kata ibu, “Bapak nggak mau bawain rokok ke petugasnya sih, jadinya diputer-puter, jadi lama prosesnya.” Yah, tapi itulah Pak Anwas, tetap istiqomah mengurus segala sesuatunya sesuai prosedur yang tertera.

Nggo sekolah bocah ki kudu sing bener, ajaranne islam ki koyo ngonoinsyaallah iso sekolah,” kata bapak tenang.

Bapak orangnya yang sangat tenang, kalau dilihat, seolah tidak ada masalah yang berat bagi bapak. Tidak pernah sekalipun saya melihat bapak grusa-grusu, murung atau marah-marah. Senyum sering terukir dari wajahnya dan candaan sering terlontar dari kata-katanya, sehingga saya tidak pernah tahu apa yang menjadi pikiran bapak atau mungkin saya yang masih terlalu belia untuk memahaminya. Kadang kalau saya rasa sekarang, optimisme bapak, keyakinannya akan pertolongan Allah jauh melebihi ikhtiarnya. Atau mungkin karena memang tingkat kepasrahannya yang tinggi akan keagungan Allah.

Masuk sekolah dipertengahan tahun, tentunya tidak mudah bagi saya untuk beradaptasi dengan pelajaran maupun temen temen di sekolah. 3 minggu sebelum masuk sekolah, saya dan kakak saya di-les-in 3 mata pelajaran, IPA, Matematika dan IPS. Oh ya, ada satu lagi, Bahasa Jawa. Dengan demikian, sebelum masuk sekolah, paling tidak ada dasar pemahaman kurikulum di Indonesia, yang sedikit berbeda dengan Malaysia. Untunglah ada Mbak Nunung, teman sekelas saya yang membuat saya merasa diterima dengan baik di lingkungan sekolah, yang sampai sekarang Nurlaila Hikmawati, begitu nama lengkapnya masih menjadi sahabat walupun kami sudah sama sama tidak tinggal di Slawi.

Bapak sangat peduli dengan pendidikan anak-anaknya, tidak hanya kebutuhan sekolah yang dipenuhi, bahkan ekstra kurikuler atau kegiatan tambahan diluar sekolah juga sangat diperhatikan bapak. Bapak mendorong ketika saya aktif di Pramuka, sejak SMP saya sering dipilih sekolah untuk kemah di luar kota, sampai saya SMA ketika masuk ke Saka Dirgantara. Bapak tidak pernah melarang saya kemah dan berkegiatan di luar rumah, yang penting “dijogo sholate yo nok…”, itu pesan bapak.

Iya, sholat adalah hal yang sangat ditekankan bapak pada anak-anaknya. Kalau saya dolan sampai sore, hal pertama yang ditanyakan bapak ketika saya sampai rumah adalah “wis ngashar Na’?”

Dan ketika saya kelas 3 SMA, saya merasa yang paling sering dibangunkan bapak untuk sholat malam, mungkin karena mau ujian, atau mungkin tingkat kekhawatiran bapak, yang lebih tinggi dibanding dengan anak-anaknya yang lain. Maklumlah, saya termasuk “aktivis” organisasi yang sering keluar rumah. Suka dolan sepedaan dengan temen-temen kesana kemari, bahkan sepedaan sampai ke Brebes. Dan setelah sholat malam itulah, sambil menunggu waktu subuh, banyak nasihat bapak yang sering diutarakan pada saya, salah satunya, bahwa bapak pesan untuk sekolah yang sungguh-sungguh.

Saya mengiyakan kata-kata bapak, dan mencoba untuk mematuhinya. Walaupun tidak bisa belajar setekun kakak saya, mas Anis, tapi kalau mau ulangan akan saya persiapkan dengan sebaik-baiknya dan PR selalu saya kerjakan. Satu hal yang berbeda dari cara belajar saya dan keinginan bapak adalah masalah radio. Saya tidak bisa belajar kalau suasana sangat hening, sehingga siaran Radio Raka Slawi, menjadi teman saya ketika belajar, sedang bapak beranggapan belajar tidak bisa dengan radio, nanti nggak masuk. Jadilah harus ada campur tangan ibu untuk menengahinya.

Beberapa waktu sebelum bapak pergi meninggalkan kami, sepulang kerja, bapak pernah berpesan pasa saya, “Bapak tidak bisa meninggalkan harta yang banyak Na’, tapi insyaallah, pada sekolah semua… sekolah yang bener, denger omongannya ibu… insyaallah mulyo uripmu.” pesan bapak kala itu.

Tidak tau pasti mengapa tiba-tiba bapak berpesan seperti itu, dan memang, bapak tidak banyak meninggalkan harta berupa materi kepada kami anak-anaknya, karena memang bukan tipe bapak demikian. Kami diajarkan untuk hidup sederhana, walaupun kala di Sabah dulu, kalau hendak bermewah mewah dan “sombong” sangat mudah bagi kami, mengingat kedudukan bapak saat itu. Bagi bapak, materi hanyalah sarana beribadah, secukup kebutuhan saja, tak perlu menumpuk dan mengupayakan apa yang tidak perlu. Karena sekecil apapun materi yang dimiliki, pasti akan dimintai pertanggungjawaban.

Ibu pernah cerita, ketika di Keningau, Bapak terlibat dalam penyelesaian proyek yang relative besar. Dan pada saat proyek tersebut selesai, pengusaha proyek, atau ibu menyebutnya Tauke, sebutan umum di Malaysia yang merujuk pada tuan yang punya perniagaan atau bos, datang menemui Bapak. Merasa diuntungkan dengan kelancaran proyeknya, Tauke tersebut bermaksud menawarkan “ucapan terima kasih” dengan menyodorkan cek kosong ke Bapak. Bapak diminta menulis jumlah angkanya sendiri, dan itu untuk bapak.

Bagi sebagian orang mungkin dianggap wajar, bisa jadi tambahan rezeki, toh proyek pekerjaan sudah selesai, tapi tidak demikian dengan Bapak. Pemberian itu bukan hanya tidak perlu, namun mengaburkan niat dan amanah yang telah diembannya. Bapak menolak dengan tegas.

Ayolah Encik, ini bukan apa apa, hanya ucapan terima kasih karena project sudah selesai. Encik banyak menolong project ini” rayu Tauke tersebut.

Jawab Bapak ringan, “Kalau Encik mau memasukkan saya dan keluarga saya ke neraka, Encik paksa saya menerima ini. Saya sudah kerja sesuai contract dan amanah yang diberikan, sudah pula digaji negara. Pulanglah, bawa cek ini.”

Tauke tersebut terkejut, sambil meminta maaf atas perbuatannya, “Tak da lah orang jujur macam Encik ni, hebat betul, baru kali ini saya jumpa orang macam Encik, kalau yang lain sudah minta sebelum project selesai.

Saya hanya mengikuti ajaran agama saya, bukannya hebat, karena memang Islam mengajarkan demikian,” sambung bapak.

Kata-kata bapak rupanya masuk kedalam hati Tauke tersebut, tidak sampai 3 bulan, Tauke datang lagi ke rumah, meminta bapak menuntunnya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Subhanallah

Sikap Bapak hari itu adalah cerminan seluruh hidupnya, lurus, tenang, tidak tergoda oleh yang bukan haknya. Keyakinan yang teguh bahwa amanah harus dijaga, bahwa rezeki tidaklah datang dari manusia, bahwa kejujuran adalah jalan kemuliaan.

Sebagaimana firman Allah: “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS. Fussilat: 33)

Dan Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad).

Akhlak itulah yang menggetarkan hati Tauke. Itulah dakwah melalui keteladanan. Dakwah yang tidak meninggikan suara, tidak memksa, tetapi mengetuk pintu hati. Bapak mungkin tidak merasa dirinya berdakwah. Namun melalui tindakan satu tundakan lurus, Allah menurunkan hidayah kepada seorang hamba-NYA. Dari teladan seperti itulah kami dibesarkan dan ditempa bapak bahwa dakwah tidak selalu harus berupa kata-kata. Kadang ia hadir melalui tindakan yang sederhana, tetapi tulus. Dakwah melalui akhlak yang hidup.

 

9 Desember 2026

Selamat Hari Anti Korupsi Dunia (HaKorDia)

 

Tidak ada komentar:

Tentang Pak Anwas #9: Islam Mengajarkan Demikian

  Sabah adalah negara bagian yang kami tempati ketika tinggal di Malaysia, tidak hanya di Kota Kinabalu, Ibukota negara Bagian Sabah, bebera...