Sabah adalah negara bagian yang kami
tempati ketika tinggal di Malaysia, tidak hanya di Kota Kinabalu, Ibukota
negara Bagian Sabah, beberapa daerah pernah juga kami tempati, tentunya karena mengikuti
tempat tugas Bapak. Bapak pernah bertugas di United Sabah Islamic Association (USIA) dan Majlis Ugama Islam Sabah
(MUIS) ketika di Kota Kinabalu, dan lama bertugas di Pusat Latihan Dakwah Keningau
(PLDK). Hampir semua tempat kerja bapak, dapat dikatakan berurusan dengan
urusan agama islam. Walaupun sebelumnya, pernah bekerja di Kebun Kelapa Sawit
cerita ibu.
Tempat pertama yang kami tempati adalah
Sembulan, di wilayah Kota Kinabalu, ibukota negara bagian Sabah, walaupun kata
ibu, jauh sebelumnya, sudah tinggal di beberapa tempat diluar Kota Kinabalu. Masih
tergambar dalam benak saya, rumah di Sembulan kala itu, rumah panggung dengan 2
tangga yang relatif tinggi bagi saya waktu itu, satu ada depan rumah, satu lagi
di samping teras, berwarna hijau muda dan terbuat dari kayu. Lokasi rumah yang
tidak jauh dari kantor Bapak, membuat bapak sering pulang makan siang di rumah.
Kebiasaan pulang untuk makan siang, terbawa sama akhir masa hidup beliau. Kalau
bapak pulang, ibu akan membuka tudung saji plastik warna biru tua di meja makan,
dan pastinya sudah tersaji berbagai jenis makanan hasil masakan ibu. Dan tudung
saji itu jugalah yang sering saya dan Mas Anton, kakak saya pakai untuk main
kapal-kapal.
Di sembulan, banyak kakak kakak pelajar
atau penuntut. Demikian kami
menyebutknya, yang sering berkunjung ke rumah, selain silaturahmi, mereka juga
membeli bahan dan menggunakan jasa jahitan baju ke ibu. Salah satunya yang
masih saya ingat bernama Kakak Gayah, beliau sering sekali membawakan saya sate
paru kalau berkunjung ke rumah. Ketika di Sembulan, ibu punya usaha menjual
kain sekaligus menjahitkan baju pesanan. Kain atau bahan jualan ibu di-drop oleh abang abang India, yang kalau
ke rumah bawaannya tas kain besar yang dibuat menjadi tas, yang kemudian
berbagai macam jenis dan motif kain akan dihamparkan di ruang tamu. Kemudian,
ibu “kulakan” kain dan dijual ke kakak kakak penuntut, tidak hanya dijual dalam bentuk kain, ibu sekaligus
membuka jasa jahitan, jadi kain yang dibeli sekaligus menjadi Baju Kurung, baju
khas Malaysia. Lumayan sebagai tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan
rumah.
Setelah dari Sembulan, kami berpindah
di daerah Tanjung Aru, rumah yang dekat dengan lokasi wisata pantai, tepat di seberang
jalan ada lapangan pacuan kuda yang kalau sore, beberapa kali, saya dengan 2
kakak laki-laki saya, mencari bola golf bekas di lapangan tersebut, karena di
tengah-tengah lapangan juga sering digunakan untuk latihan golf orang-orang. Rumah
berbahan bata merah dengan cat tembok warna pink muda dengan pintu dan daun jendela berwarna
putih itu memiliki halaman depan rumah sangat luas, ada ayunan besi warna putih
di samping pintu dan pagar samping rumah yang jarang dibuka penuh.
![]() |
| Ibu, Mas Anton, Ita dan saya di rumahTanjung Aru |
Peristiwa yang masih saya ingat sampai
sekarang ketika tinggal di Tanjung Aru adalah saya sering dijemput Ibu Konsulat
Republik Indonesia kala itu untuk menginap di rumahnya. Dan kalau lomba tujuh
belasan, Keluarga Anwas memborong berbagai macam hadiah, karena hampir semua perlombaan
dimenangkan oleh kakak kakak saya. Tidak hanya itu, lagu “Mengheningkan Cipta” dengan
suara gesekan biola juga pertama kali saya dengar ketika kami tinggal di
Tanjung Aru.
Kemudian, ketika saya menginjak kelas 2
Sekolah Dasar, kami berpindah ke Keningau, daerah pedalaman yang berada relatif
jauh dari keramaian kota, sampai saya lulus Sekolah Dasar. Di Keningau, ibu
menyekolahkan saya dan Mas Anton, kakak laki-laki saya di Sekolah Rendah jenis
Kebangsaan (SRJK) Yuk Yin Keningau, sekolah dengan bahasa pengantar bahasa
Mandarin. Itulah kemudian, ketika awal tahun 1985, kami berpindah ke Likas,
Kota Kinabalu, saya harus mengikuti Kelas Peralihan selama satu tahun di
Sekolah Menengah Kebangsaan (SMK) Likas, Sabah. Kelas Peralihan dimaksudkan
semacam kelas matrikulasi penyesuaian bahasa pengantar di sekolah, karena SMK
Likas berbahasa pengantar Bahasa Inggris. Tidak lama di Likas, akhirnya, pada
bulan Oktober 1985 kami balik ke Slawi, Tegal tepat ketika saya masuk kelas 1
di SMP Negeri 1 Slawi.
Bukanlah hal yang mudah, ketika pertama
kali masuk sekolah di Indonesia, walaupun kami sudah di Slawi pada bulan
Oktober, tapi saya, kakak kakak dan adik saya baru bisa bersekolah di bulan Februari
tahun berikutnya. Masa tunggu yang relatif lama bagi kami untuk bersekolah,
saya habiskan dengan bermain dengan tetangga rumah, dan itu juga hanya bisa
pada sore hari, karena kalau pagi, temen temen bersekolah. Sehingga waktu ashar
adalah waktu yang sangat saya nantikan, karena setelah ashar, waktu bermain
kami dimulai.
Lamanya waktu tunggu, karena ternyata
tidak mudah mengurus perpindahan sekolah antar negara. Masih ingat ketika Bapak
harus bolak balik ke Jakarta, Semarang, dan Pekalongan untuk mengurus
perpindahan sekolah kami. Saya pernah diajak bapak ke Semarang untuk mengurus
perpindahan sekolah, naik bis Coyo,
bis patas “paling elite” di masa itu, pagi pagi sekali. Hanya mengikuti bapak
ke kantor kantor, menunggu lama, dan kemudian sore hari sudah balik lagi ke
Slawi.
Kata ibu, “Bapak nggak mau bawain rokok ke petugasnya sih, jadinya diputer-puter,
jadi lama prosesnya.” Yah, tapi itulah Pak Anwas, tetap istiqomah mengurus segala sesuatunya
sesuai prosedur yang tertera.
“Nggo
sekolah bocah ki kudu sing bener, ajaranne islam ki koyo ngono… insyaallah iso sekolah,” kata bapak
tenang.
Bapak orangnya yang sangat tenang,
kalau dilihat, seolah tidak ada masalah yang berat bagi bapak. Tidak pernah
sekalipun saya melihat bapak grusa-grusu,
murung atau marah-marah. Senyum sering terukir dari wajahnya dan candaan sering
terlontar dari kata-katanya, sehingga saya tidak pernah tahu apa yang menjadi
pikiran bapak atau mungkin saya yang masih terlalu belia untuk memahaminya. Kadang
kalau saya rasa sekarang, optimisme bapak, keyakinannya akan pertolongan Allah
jauh melebihi ikhtiarnya. Atau mungkin karena memang tingkat kepasrahannya yang
tinggi akan keagungan Allah.
Masuk sekolah dipertengahan tahun,
tentunya tidak mudah bagi saya untuk beradaptasi dengan pelajaran maupun temen
temen di sekolah. 3 minggu sebelum masuk sekolah, saya dan kakak saya di-les-in 3 mata pelajaran, IPA,
Matematika dan IPS. Oh ya, ada satu lagi, Bahasa Jawa. Dengan demikian, sebelum
masuk sekolah, paling tidak ada dasar pemahaman kurikulum di Indonesia, yang
sedikit berbeda dengan Malaysia. Untunglah ada Mbak Nunung, teman sekelas saya
yang membuat saya merasa diterima dengan baik di lingkungan sekolah, yang
sampai sekarang Nurlaila Hikmawati, begitu nama lengkapnya masih menjadi
sahabat walupun kami sudah sama sama tidak tinggal di Slawi.
Bapak sangat peduli dengan pendidikan
anak-anaknya, tidak hanya kebutuhan sekolah yang dipenuhi, bahkan ekstra
kurikuler atau kegiatan tambahan diluar sekolah juga sangat diperhatikan bapak.
Bapak mendorong ketika saya aktif di Pramuka, sejak SMP saya sering dipilih
sekolah untuk kemah di luar kota, sampai saya SMA ketika masuk ke Saka
Dirgantara. Bapak tidak pernah melarang saya kemah dan berkegiatan di luar
rumah, yang penting “dijogo sholate yo nok…”,
itu pesan bapak.
Iya, sholat adalah hal yang sangat ditekankan bapak
pada anak-anaknya. Kalau saya dolan
sampai sore, hal pertama yang ditanyakan bapak ketika saya sampai rumah adalah
“wis ngashar Na’?”
Dan ketika saya kelas 3 SMA, saya merasa yang paling
sering dibangunkan bapak untuk sholat malam, mungkin karena mau ujian, atau
mungkin tingkat kekhawatiran bapak, yang lebih tinggi dibanding dengan
anak-anaknya yang lain. Maklumlah, saya termasuk “aktivis” organisasi yang
sering keluar rumah. Suka dolan
sepedaan dengan temen-temen kesana kemari, bahkan sepedaan sampai ke Brebes. Dan
setelah sholat malam itulah, sambil menunggu waktu subuh, banyak nasihat bapak
yang sering diutarakan pada saya, salah satunya, bahwa bapak pesan untuk
sekolah yang sungguh-sungguh.
Saya mengiyakan kata-kata bapak, dan mencoba untuk
mematuhinya. Walaupun tidak bisa belajar setekun kakak saya, mas Anis, tapi kalau
mau ulangan akan saya persiapkan dengan sebaik-baiknya dan PR selalu saya
kerjakan. Satu hal yang berbeda dari cara belajar saya dan keinginan bapak
adalah masalah radio. Saya tidak bisa belajar kalau suasana sangat hening,
sehingga siaran Radio Raka Slawi, menjadi teman saya ketika belajar, sedang
bapak beranggapan belajar tidak bisa dengan radio, nanti nggak masuk. Jadilah
harus ada campur tangan ibu untuk menengahinya.
Beberapa waktu sebelum bapak pergi meninggalkan
kami, sepulang kerja, bapak pernah berpesan pasa saya, “Bapak tidak bisa meninggalkan harta yang banyak Na’, tapi insyaallah,
pada sekolah semua… sekolah yang bener, denger omongannya ibu… insyaallah mulyo
uripmu.” pesan bapak kala itu.
Tidak tau pasti mengapa tiba-tiba bapak berpesan
seperti itu, dan memang, bapak tidak banyak meninggalkan harta berupa materi
kepada kami anak-anaknya, karena memang bukan tipe bapak demikian. Kami
diajarkan untuk hidup sederhana, walaupun kala di Sabah dulu, kalau hendak bermewah
mewah dan “sombong” sangat mudah bagi kami, mengingat kedudukan bapak saat itu.
Bagi bapak, materi hanyalah sarana beribadah, secukup kebutuhan saja, tak perlu
menumpuk dan mengupayakan apa yang tidak perlu. Karena sekecil apapun materi
yang dimiliki, pasti akan dimintai pertanggungjawaban.
Ibu pernah cerita, ketika di Keningau, Bapak
terlibat dalam penyelesaian proyek yang relative besar. Dan pada saat proyek
tersebut selesai, pengusaha proyek, atau ibu menyebutnya Tauke, sebutan umum di
Malaysia yang merujuk pada tuan yang punya perniagaan atau bos, datang menemui
Bapak. Merasa diuntungkan dengan kelancaran proyeknya, Tauke tersebut bermaksud
menawarkan “ucapan terima kasih” dengan menyodorkan cek kosong ke Bapak. Bapak
diminta menulis jumlah angkanya sendiri, dan itu untuk bapak.
Bagi sebagian orang mungkin dianggap wajar, bisa
jadi tambahan rezeki, toh proyek pekerjaan sudah selesai, tapi tidak demikian
dengan Bapak. Pemberian itu bukan hanya tidak perlu, namun mengaburkan niat dan
amanah yang telah diembannya. Bapak menolak dengan tegas.
“Ayolah
Encik, ini bukan apa apa, hanya ucapan terima kasih karena project sudah
selesai. Encik banyak menolong project ini” rayu Tauke tersebut.
Jawab Bapak ringan, “Kalau Encik mau memasukkan saya dan keluarga saya ke neraka, Encik
paksa saya menerima ini. Saya sudah kerja sesuai contract dan amanah yang
diberikan, sudah pula digaji negara. Pulanglah, bawa cek ini.”
Tauke tersebut terkejut, sambil meminta maaf atas
perbuatannya, “Tak da lah orang jujur
macam Encik ni, hebat betul, baru kali ini saya jumpa orang macam Encik, kalau
yang lain sudah minta sebelum project selesai.”
“Saya hanya
mengikuti ajaran agama saya, bukannya hebat, karena memang Islam mengajarkan
demikian,” sambung bapak.
Kata-kata bapak rupanya masuk kedalam hati Tauke tersebut,
tidak sampai 3 bulan, Tauke datang lagi ke rumah, meminta bapak menuntunnya
untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Subhanallah…
Sikap Bapak hari itu adalah cerminan seluruh
hidupnya, lurus, tenang, tidak tergoda oleh yang bukan haknya. Keyakinan yang
teguh bahwa amanah harus dijaga, bahwa rezeki tidaklah datang dari manusia,
bahwa kejujuran adalah jalan kemuliaan.
Sebagaimana firman Allah: “Siapakah yang lebih baik
perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal saleh,
dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS.
Fussilat: 33)
Dan Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya aku diutus
untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad).
Akhlak itulah yang menggetarkan hati Tauke. Itulah
dakwah melalui keteladanan. Dakwah yang tidak meninggikan suara, tidak memksa,
tetapi mengetuk pintu hati. Bapak mungkin tidak merasa dirinya berdakwah. Namun
melalui tindakan satu tundakan lurus, Allah menurunkan hidayah kepada seorang
hamba-NYA. Dari teladan seperti itulah kami dibesarkan dan ditempa bapak bahwa
dakwah tidak selalu harus berupa kata-kata. Kadang ia hadir melalui tindakan
yang sederhana, tetapi tulus. Dakwah melalui akhlak yang hidup.
9 Desember 2026
Selamat Hari Anti Korupsi Dunia
(HaKorDia)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar