Selasa, 09 Desember 2025

Tentang Pak Anwas #9: Islam Mengajarkan Demikian

 

Sabah adalah negara bagian yang kami tempati ketika tinggal di Malaysia, tidak hanya di Kota Kinabalu, Ibukota negara Bagian Sabah, beberapa daerah pernah juga kami tempati, tentunya karena mengikuti tempat tugas Bapak. Bapak pernah bertugas di United Sabah Islamic Association (USIA) dan Majlis Ugama Islam Sabah (MUIS) ketika di Kota Kinabalu, dan lama bertugas di Pusat Latihan Dakwah Keningau (PLDK). Hampir semua tempat kerja bapak, dapat dikatakan berurusan dengan urusan agama islam. Walaupun sebelumnya, pernah bekerja di Kebun Kelapa Sawit cerita ibu.

Tempat pertama yang kami tempati adalah Sembulan, di wilayah Kota Kinabalu, ibukota negara bagian Sabah, walaupun kata ibu, jauh sebelumnya, sudah tinggal di beberapa tempat diluar Kota Kinabalu. Masih tergambar dalam benak saya, rumah di Sembulan kala itu, rumah panggung dengan 2 tangga yang relatif tinggi bagi saya waktu itu, satu ada depan rumah, satu lagi di samping teras, berwarna hijau muda dan terbuat dari kayu. Lokasi rumah yang tidak jauh dari kantor Bapak, membuat bapak sering pulang makan siang di rumah. Kebiasaan pulang untuk makan siang, terbawa sama akhir masa hidup beliau. Kalau bapak pulang, ibu akan membuka tudung saji plastik warna biru tua di meja makan, dan pastinya sudah tersaji berbagai jenis makanan hasil masakan ibu. Dan tudung saji itu jugalah yang sering saya dan Mas Anton, kakak saya pakai untuk main kapal-kapal.

Di sembulan, banyak kakak kakak pelajar atau penuntut. Demikian kami menyebutknya, yang sering berkunjung ke rumah, selain silaturahmi, mereka juga membeli bahan dan menggunakan jasa jahitan baju ke ibu. Salah satunya yang masih saya ingat bernama Kakak Gayah, beliau sering sekali membawakan saya sate paru kalau berkunjung ke rumah. Ketika di Sembulan, ibu punya usaha menjual kain sekaligus menjahitkan baju pesanan. Kain atau bahan jualan ibu di-drop oleh abang abang India, yang kalau ke rumah bawaannya tas kain besar yang dibuat menjadi tas, yang kemudian berbagai macam jenis dan motif kain akan dihamparkan di ruang tamu. Kemudian, ibu “kulakan” kain dan dijual ke kakak kakak penuntut, tidak hanya dijual dalam bentuk kain, ibu sekaligus membuka jasa jahitan, jadi kain yang dibeli sekaligus menjadi Baju Kurung, baju khas Malaysia. Lumayan sebagai tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan rumah.

Setelah dari Sembulan, kami berpindah di daerah Tanjung Aru, rumah yang dekat dengan lokasi wisata pantai, tepat di seberang jalan ada lapangan pacuan kuda yang kalau sore, beberapa kali, saya dengan 2 kakak laki-laki saya, mencari bola golf bekas di lapangan tersebut, karena di tengah-tengah lapangan juga sering digunakan untuk latihan golf orang-orang. Rumah berbahan bata merah dengan cat tembok warna pink muda dengan pintu dan daun jendela berwarna putih itu memiliki halaman depan rumah sangat luas, ada ayunan besi warna putih di samping pintu dan pagar samping rumah yang jarang dibuka penuh.

Ibu, Mas Anton, Ita dan saya di
rumahTanjung Aru 

Peristiwa yang masih saya ingat sampai sekarang ketika tinggal di Tanjung Aru adalah saya sering dijemput Ibu Konsulat Republik Indonesia kala itu untuk menginap di rumahnya. Dan kalau lomba tujuh belasan, Keluarga Anwas memborong berbagai macam hadiah, karena hampir semua perlombaan dimenangkan oleh kakak kakak saya. Tidak hanya itu, lagu “Mengheningkan Cipta” dengan suara gesekan biola juga pertama kali saya dengar ketika kami tinggal di Tanjung Aru.  

Kemudian, ketika saya menginjak kelas 2 Sekolah Dasar, kami berpindah ke Keningau, daerah pedalaman yang berada relatif jauh dari keramaian kota, sampai saya lulus Sekolah Dasar. Di Keningau, ibu menyekolahkan saya dan Mas Anton, kakak laki-laki saya di Sekolah Rendah jenis Kebangsaan (SRJK) Yuk Yin Keningau, sekolah dengan bahasa pengantar bahasa Mandarin. Itulah kemudian, ketika awal tahun 1985, kami berpindah ke Likas, Kota Kinabalu, saya harus mengikuti Kelas Peralihan selama satu tahun di Sekolah Menengah Kebangsaan (SMK) Likas, Sabah. Kelas Peralihan dimaksudkan semacam kelas matrikulasi penyesuaian bahasa pengantar di sekolah, karena SMK Likas berbahasa pengantar Bahasa Inggris. Tidak lama di Likas, akhirnya, pada bulan Oktober 1985 kami balik ke Slawi, Tegal tepat ketika saya masuk kelas 1 di SMP Negeri 1 Slawi.

Bukanlah hal yang mudah, ketika pertama kali masuk sekolah di Indonesia, walaupun kami sudah di Slawi pada bulan Oktober, tapi saya, kakak kakak dan adik saya baru bisa bersekolah di bulan Februari tahun berikutnya. Masa tunggu yang relatif lama bagi kami untuk bersekolah, saya habiskan dengan bermain dengan tetangga rumah, dan itu juga hanya bisa pada sore hari, karena kalau pagi, temen temen bersekolah. Sehingga waktu ashar adalah waktu yang sangat saya nantikan, karena setelah ashar, waktu bermain kami dimulai.

Lamanya waktu tunggu, karena ternyata tidak mudah mengurus perpindahan sekolah antar negara. Masih ingat ketika Bapak harus bolak balik ke Jakarta, Semarang, dan Pekalongan untuk mengurus perpindahan sekolah kami. Saya pernah diajak bapak ke Semarang untuk mengurus perpindahan sekolah, naik bis Coyo, bis patas “paling elite” di masa itu, pagi pagi sekali. Hanya mengikuti bapak ke kantor kantor, menunggu lama, dan kemudian sore hari sudah balik lagi ke Slawi.

Kata ibu, “Bapak nggak mau bawain rokok ke petugasnya sih, jadinya diputer-puter, jadi lama prosesnya.” Yah, tapi itulah Pak Anwas, tetap istiqomah mengurus segala sesuatunya sesuai prosedur yang tertera.

Nggo sekolah bocah ki kudu sing bener, ajaranne islam ki koyo ngonoinsyaallah iso sekolah,” kata bapak tenang.

Bapak orangnya yang sangat tenang, kalau dilihat, seolah tidak ada masalah yang berat bagi bapak. Tidak pernah sekalipun saya melihat bapak grusa-grusu, murung atau marah-marah. Senyum sering terukir dari wajahnya dan candaan sering terlontar dari kata-katanya, sehingga saya tidak pernah tahu apa yang menjadi pikiran bapak atau mungkin saya yang masih terlalu belia untuk memahaminya. Kadang kalau saya rasa sekarang, optimisme bapak, keyakinannya akan pertolongan Allah jauh melebihi ikhtiarnya. Atau mungkin karena memang tingkat kepasrahannya yang tinggi akan keagungan Allah.

Masuk sekolah dipertengahan tahun, tentunya tidak mudah bagi saya untuk beradaptasi dengan pelajaran maupun temen temen di sekolah. 3 minggu sebelum masuk sekolah, saya dan kakak saya di-les-in 3 mata pelajaran, IPA, Matematika dan IPS. Oh ya, ada satu lagi, Bahasa Jawa. Dengan demikian, sebelum masuk sekolah, paling tidak ada dasar pemahaman kurikulum di Indonesia, yang sedikit berbeda dengan Malaysia. Untunglah ada Mbak Nunung, teman sekelas saya yang membuat saya merasa diterima dengan baik di lingkungan sekolah, yang sampai sekarang Nurlaila Hikmawati, begitu nama lengkapnya masih menjadi sahabat walupun kami sudah sama sama tidak tinggal di Slawi.

Bapak sangat peduli dengan pendidikan anak-anaknya, tidak hanya kebutuhan sekolah yang dipenuhi, bahkan ekstra kurikuler atau kegiatan tambahan diluar sekolah juga sangat diperhatikan bapak. Bapak mendorong ketika saya aktif di Pramuka, sejak SMP saya sering dipilih sekolah untuk kemah di luar kota, sampai saya SMA ketika masuk ke Saka Dirgantara. Bapak tidak pernah melarang saya kemah dan berkegiatan di luar rumah, yang penting “dijogo sholate yo nok…”, itu pesan bapak.

Iya, sholat adalah hal yang sangat ditekankan bapak pada anak-anaknya. Kalau saya dolan sampai sore, hal pertama yang ditanyakan bapak ketika saya sampai rumah adalah “wis ngashar Na’?”

Dan ketika saya kelas 3 SMA, saya merasa yang paling sering dibangunkan bapak untuk sholat malam, mungkin karena mau ujian, atau mungkin tingkat kekhawatiran bapak, yang lebih tinggi dibanding dengan anak-anaknya yang lain. Maklumlah, saya termasuk “aktivis” organisasi yang sering keluar rumah. Suka dolan sepedaan dengan temen-temen kesana kemari, bahkan sepedaan sampai ke Brebes. Dan setelah sholat malam itulah, sambil menunggu waktu subuh, banyak nasihat bapak yang sering diutarakan pada saya, salah satunya, bahwa bapak pesan untuk sekolah yang sungguh-sungguh.

Saya mengiyakan kata-kata bapak, dan mencoba untuk mematuhinya. Walaupun tidak bisa belajar setekun kakak saya, mas Anis, tapi kalau mau ulangan akan saya persiapkan dengan sebaik-baiknya dan PR selalu saya kerjakan. Satu hal yang berbeda dari cara belajar saya dan keinginan bapak adalah masalah radio. Saya tidak bisa belajar kalau suasana sangat hening, sehingga siaran Radio Raka Slawi, menjadi teman saya ketika belajar, sedang bapak beranggapan belajar tidak bisa dengan radio, nanti nggak masuk. Jadilah harus ada campur tangan ibu untuk menengahinya.

Beberapa waktu sebelum bapak pergi meninggalkan kami, sepulang kerja, bapak pernah berpesan pasa saya, “Bapak tidak bisa meninggalkan harta yang banyak Na’, tapi insyaallah, pada sekolah semua… sekolah yang bener, denger omongannya ibu… insyaallah mulyo uripmu.” pesan bapak kala itu.

Tidak tau pasti mengapa tiba-tiba bapak berpesan seperti itu, dan memang, bapak tidak banyak meninggalkan harta berupa materi kepada kami anak-anaknya, karena memang bukan tipe bapak demikian. Kami diajarkan untuk hidup sederhana, walaupun kala di Sabah dulu, kalau hendak bermewah mewah dan “sombong” sangat mudah bagi kami, mengingat kedudukan bapak saat itu. Bagi bapak, materi hanyalah sarana beribadah, secukup kebutuhan saja, tak perlu menumpuk dan mengupayakan apa yang tidak perlu. Karena sekecil apapun materi yang dimiliki, pasti akan dimintai pertanggungjawaban.

Ibu pernah cerita, ketika di Keningau, Bapak terlibat dalam penyelesaian proyek yang relative besar. Dan pada saat proyek tersebut selesai, pengusaha proyek, atau ibu menyebutnya Tauke, sebutan umum di Malaysia yang merujuk pada tuan yang punya perniagaan atau bos, datang menemui Bapak. Merasa diuntungkan dengan kelancaran proyeknya, Tauke tersebut bermaksud menawarkan “ucapan terima kasih” dengan menyodorkan cek kosong ke Bapak. Bapak diminta menulis jumlah angkanya sendiri, dan itu untuk bapak.

Bagi sebagian orang mungkin dianggap wajar, bisa jadi tambahan rezeki, toh proyek pekerjaan sudah selesai, tapi tidak demikian dengan Bapak. Pemberian itu bukan hanya tidak perlu, namun mengaburkan niat dan amanah yang telah diembannya. Bapak menolak dengan tegas.

Ayolah Encik, ini bukan apa apa, hanya ucapan terima kasih karena project sudah selesai. Encik banyak menolong project ini” rayu Tauke tersebut.

Jawab Bapak ringan, “Kalau Encik mau memasukkan saya dan keluarga saya ke neraka, Encik paksa saya menerima ini. Saya sudah kerja sesuai contract dan amanah yang diberikan, sudah pula digaji negara. Pulanglah, bawa cek ini.”

Tauke tersebut terkejut, sambil meminta maaf atas perbuatannya, “Tak da lah orang jujur macam Encik ni, hebat betul, baru kali ini saya jumpa orang macam Encik, kalau yang lain sudah minta sebelum project selesai.

Saya hanya mengikuti ajaran agama saya, bukannya hebat, karena memang Islam mengajarkan demikian,” sambung bapak.

Kata-kata bapak rupanya masuk kedalam hati Tauke tersebut, tidak sampai 3 bulan, Tauke datang lagi ke rumah, meminta bapak menuntunnya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Subhanallah

Sikap Bapak hari itu adalah cerminan seluruh hidupnya, lurus, tenang, tidak tergoda oleh yang bukan haknya. Keyakinan yang teguh bahwa amanah harus dijaga, bahwa rezeki tidaklah datang dari manusia, bahwa kejujuran adalah jalan kemuliaan.

Sebagaimana firman Allah: “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS. Fussilat: 33)

Dan Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad).

Akhlak itulah yang menggetarkan hati Tauke. Itulah dakwah melalui keteladanan. Dakwah yang tidak meninggikan suara, tidak memksa, tetapi mengetuk pintu hati. Bapak mungkin tidak merasa dirinya berdakwah. Namun melalui tindakan satu tundakan lurus, Allah menurunkan hidayah kepada seorang hamba-NYA. Dari teladan seperti itulah kami dibesarkan dan ditempa bapak bahwa dakwah tidak selalu harus berupa kata-kata. Kadang ia hadir melalui tindakan yang sederhana, tetapi tulus. Dakwah melalui akhlak yang hidup.

 

9 Desember 2026

Selamat Hari Anti Korupsi Dunia (HaKorDia)

 

Selasa, 25 November 2025

Tentang Pak Anwas #8: In tanshurullāha

Pak Anwas adalah sosok yang senang sekali menolong, dalam hal sekecil apapun. Pernah, suatu sore ba'da asar, ada sibah-mbah sepuh "nunut" duduk di teras depan warung ibu. Kebetulan bapak sedang ada di warung, jaga (hihihi…) karena ibu belum pulang pengajian dan saya barusan keluar bawa ember untuk menyiram pohon jambu dan melati di halaman yang hampir setiap pagi berbunga. Melihat mbah mbah sepuh tadi, bapak meminta saya mengambilkannya minum. Setelah minum dan ucapan terima kasih yang begitu tulus, mbah mbah sepuh pamit dan beranjak pergi. 

Waktu mbah sepuh pamit ke saya untuk melanjutkan perjalanan, Bapak masih sibuk di dalam warung bukan karena melayani pembeli, namun sibuk memasukan "belanjaan" ke tas kresek. Tiba-tiba bapak keluar dari warung membawa tas kresek. Saya ditanya, "simbahe mau neng endi nok?" "Dah pamit Pak..." jawab saya singkat. "Iki dioyakke nggo simbahe yooo, durung adoh paling..." kata Bapak sambil memberikan kantong kresek yang saya juga kurang tau pasti isinya apa, mungkin beras, gula dan beberapa item lainnya, karena terasa cukup berat juga. 

Alhamdulillah... karena saya masih sangat langsing pada waktu itu, tersampaikan juga amanat Bapak, walau dengan sedikit berlari, karena perjalanan beliau sudah lumayan jauh. Sepulangnya saya, ditanya, "sudah dikasihkan Na...?" "sampun Pak, mbahnya bilang matursuwun gitu Pak..." jawab saya. "Alhamdulillah..." jawab bapak singkat sambil  menyiram tanaman, menyelesaikan pekerjaan saya yang tertunda tadi.

Tidak hanya sekali bapak berbuat demikian, Bapak senang sekali memberi, tidak hanya ketika orang meminta, tanpa ada yang meminta, kalau bagi bapak harus dibantu, dengan senang hati dan niat ikhlas bapak akan memberikan bantuan. Pemberian bantuan tidak hanya bersifat materi, kadang tenaga, nasihat, atau ilmu. Sifat bapak jauh dari kata "perhitungan" atau transaksional, apalagi pelit. Apa-apa yang bisa diberikan, diberikan dengan lapang dada dan keikhlasan. 

Dan yang paling sering dilakukan adalah mengajak teman-temannya makan. Entah itu mentraktir makan di sekolah atau di warung, dan yang paling sering adalah mengajak makan di rumah. Karena menurut bapak, masakan ibu adalah the best. Namun, untuk kebiasaan yang terakhir inilah, yang sering buat ibu "ngomel", bukan karena tidak mau menyajikan makanan, tapi "traktiran" mendadak di rumah jelas membuat repot. Kalau di rumah pas ada makanan yang siap dihidangkan, sih nggak papa, tapi kalau nggak ada, bisa dibayangkan betapa repotnya. Ditambah lagi, temen yang akan diajak juga kadang tidak hanya 1 atau 2 oarng, bisa lebih dari 5 orang alias rombongan. 

Ketika ibu sudah demikian, ucapan "in tanshurullāha yanshurkum wa yutsabbit aqdâmakum", "jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu", dari bapak menjadi penyelamat.  

Dan ibu hanya bisa komentar, "musuh, musuh ustadz ya angel". 

"Ora angel, kuwi ajaranne Nabi. Mengikuti ajaran Nabi berarti membela agamane Gusti Allah", imbuh bapak sambil tertawa ngekek.

Dari Sa'ad bin Ubadah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang memberi minum kepada orang yang kehausan, Allah akan memberinya minum pada hari kiamat dari minuman surga." (HR. Al-Baihaqi)

Rasulullah SAW juga bersabda, "Tidak ada sedekah yang lebih utama daripada memberikan air minum." (HR. Ahmad)

Mungkin hadits inilah yang diamalkan Bapak, mengikuti sunnah Rasulnya dalam hal sekecil apapun.

Untunglah ibu jago memasak, apa-apa yang ada di kulkas bisa dijadikan masakan. Kalau ada jamuan mendadak seperti itu, seringnya ibu memasak telur, paling gampang diolah menjadi aneka masakan kata ibu. Bisa dibuat semur, didadar, masak balado, atau kadang cukup telor ceplok saja sudah enak. Kadang ditambah mie instan rebus yang digoreng ditambah sayuran yang ada di kulkas, tinggal dibeliin tahu Aci khas Tegal yang rasanya gurih, enak. Komplit sudah jamuan yang dihidangkan. Apabila kebetulan tidak ada stock bahan mentah di kulkas, sayalah yang si paling sering "disuruh" untuk belanja, dan sepeda BMX kuning menjadi andalan untuk kesana kemari.  

Begitulah bapak, sosok sederhana yang justru lewat tindakan dan kebiasaan kecilnya mengajarkan makna besar tentang memuliakan sesama. Dari bapak, saya belajar, bahwa kebaikan tidak perlu menunggu waktu khusus atau tujuan  khusus, ketika kita memiliki segalanya atau berlebih. Islam mengajarkan pada kita untuk berbuat baik pada siapapun, dan kebaikan itu tumbuh dari hati yang lapang dan niat yang iklhlas. Maka biarlah keteladanan bapak menjadi pengingat bagi kita untuk terus menebar kebaikan, sekecil apapun bentuknya, walaupun itu hanya sebentuk senyum. Karena setiap uluran tangan akan menjadi amal jariyah yang terus mengalir, yang insyaallah menjadi pemberat timbangan kelak di yaumul akhir. (fie’)

Kamis, 30 Oktober 2025

Ini Tentang Pak Anwas #7: Tentara Pelajar

 

Mungkin, hampir setiap anak kecil memiliki kenangan seperti yang kami alami, nonton televisi di ruang keluarga dan tertidur, ajaibnya, ketika terbangun sudah berada di kamar. Heran? Ya tidaklah, Karena kami tahu, siapa lagi lah kalau bukan Bapak yang memindahkan kami. Bahkan terkadang, kami pura pura tertidur di depan televisi, karena yakin, pasti akan digendong Bapak ke kamar, rasanya seneng aja digedong, walaupun sudah kelas tiga SD waktu itu. Momen sederhana yang selalu diingat dan sering menjadi bahan cerita keluarga saat kami mudik, berkumpul di depan televisi di rumah Ibu di Slawi.

Tidak hanya itu, kebiasaan Bapak menyanyikan tembang macapat, Dandanggula menjelang tidur atau saat mati lampu, juga sering menjadi topik pembicaraan kami, anak-anaknya. Rasanya baru kemaren, suara Bapak nembang kami dengar berulang-ulang, sampai sampai, Ita, hafal betul nada dan lirik tembang Dandanggula. Selain nembang, mendongeng juga menjadi kebiasaan Bapak sebelum kami terlelap. Ada saja yang diceritakan Bapak, mulai dari cerita wayang, cerita Abu Nawas, atau dongeng kancil. 

Diantara banyak dongeng, dongeng Kancil lah yang menjadi favorite Bapak, tidak hanya Kancil Nyolong Timun, Kancil Mlebu Blumbang atau Kanci Lawan Keong juga bolak balik diceritakan. Malah terkadang Bapak mengarang sendiri jalan cerita kancilnya. Yang menarik dan lucu dari Bapak ketika bercerita adalah mimik suara yang disesuaikan dengan tokoh dalam cerita. Namun ada yang lebih lucu, yakni mungkin ketika bahan mendongeng habis, dan anak-anaknya minta “didongengin”, Bapak akan mendongeng “Kisah Ono Kaji”, dongeng singkat dengan paragraph yang diulang. Ceritanya: “Ono kaji nduwe anak siji, njaluk ndongeng, le ndongenke: ono kaji, nduwe anak siji, njaluk ndongeng, le ndongengke…” dan begitu seterusnya…”  😊

Selain mendongeng, Bapak juga kerap kali bercerita tentang pengalaman beliau ketika menjadi Tentara Pelajar di Jogja dulu. Bersama para pejuang lainnya, beliau ikut bergerilya, mengangkat senjata, berperang melawan tentara Jepang, membela dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Nek pas perang, pilihannya cuma dua, nembak atau ditembak”, “apalagi kalau malam, ada suara peluru, ndak tau siapa yang nembak atau ditembak, gelap, lha wong di hutan.” demikian cerita bapak kala itu. Terlihat jelas kebanggaan dalam raut wajahnya, apalagi ketika menceritakan pernah beliau diutus pimpinan untuk mengirimkan surat ke Soeharto. “Soeharto Presiden itu Pak?” tanya saya waktu itu, “Iya, ning durung dadi presiden.” 

Usia Pak Anwas masih sangat belia ketika menjadi anggota Tentara Pelajar. Tak heran jika jiwa patriotisme, cinta tanah air dan nasionalisme tertanam dalam di hati Bapak. Mungkin, itulah sebabnya ketika kami di Sabah, kami tetap menjadi Warga Negara Indonesia, walaupun perpanjangan visa rutin dilakukan selama bertahun-tahun. Tawaran dan bujukan dari rekan kerja maupun murid-murid dan anak asuh bapak untuk berpindah kewarganegaraan tak jarang datang, dengan “iming-iming” hidup bisa lebih makmur dan mudah bagi anak-anak bersekolah tinggi apabila berwarga negara Malaysia. Karena di Malaysia, beasiswa sekolah dalam dan luar negeri, pastinya mempersyaratkan kewarganegaraan.

Tidak hanya sekali, ibu mengajak bapak untuk berpindah kewarganegaan. Bujukan ibu datang, ketika Mas Anis, Kakak ketiga saya terpilih untuk menjadi duta mewakili Malaysia pada Perkemahan Pandu Putra (Boys Scout International) di Australia. Ketika semuanya sudah siap, hanya tinggal menunggu hari, mas Anis tidak diizinkan untuk berangkat, karena menggunakan paspor hijau, paspor Negara Indonesia. Tidak hanya sekali mas Anis batal “sekolah” keluar negeri karena paspor hijau, sesaat setelah lulus dari Sekolah Menengah Kebangsaan Menggatal, Kota Kinabalu, dengan memperoleh nilai kelulusan tertinggi se-Negara Bagian Sabah, (memang pinter banget yang namanya mas Anis itu… hihihi 😊), beasiswa studi lanjut ke negara Belgia terpaksa dilepas.

Ada ungkapan Hubbul Wathan Minal Iman, yang berarti "mencintai tanah air adalah bagian dari iman," menekankan bahwa patriotisme adalah wujud keimanan. Meskipun bukan hadis, maknanya tetap diterima karena tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Cinta tanah air dipandang sebagai sesuatu yang alami dan selaras dengan perintah untuk menjaga dan memakmurkan bumi.

Kenangan tentang Bapak sebagai Tentara Pelajar bukan hanya kisah masa lalu, tetapi juga warisan nilai yang hidup hingga kini. Dari bapak, kami belajar arti keberanian, kejujuran, dan kesetiaan — bukan semata kepada bangsa, tetapi juga kepada ajaran agama yang menuntun agar cinta tanah air menjadi bagian dari keimanan.

Dalam pandangan Islam, mencintai tanah air bukanlah bentuk fanatisme sempit, melainkan wujud rasa syukur atas nikmat Allah. Menjaga negeri, menebar kebaikan, dan membangun kehidupan yang damai adalah bagian dari amal saleh. Sebagaimana para pejuang terdahulu berjuang dengan semangat jihad fisabilillah, kita pun hari ini dipanggil untuk berjihad dengan ilmu, kejujuran, dan pengabdian di bidang masing-masing. (fie’)

Selamat Hari Pahlawan, 10 Nopember 2025.


Jumat, 24 Oktober 2025

Tentang Pak Anwas #6: Berbuat untuk Keindahan

Halaman depan rumah kami di Slawi tidak begitu luas, hanya lebar 2,5 meter dari pintu depan. Teras yang biasa buat saya dan temen teman main yeye atau bola bekel dan juga buat kami duduk duduk sambal jaga warung hanya sekitar 1,5 meter, dan sisanya berupa tanah, baru kemudian pagar. Pagar yang apabila sudah waktunya pengecetan, terjadi perbedaan pendapat terkait warna antara selera bapak dan ibu. Hihihi... Bapak ingin dicat warna biru dan krem, warna Muhammadiyah, kata beliau, maklum Bapak adalah Pengurus Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Tegal. Sedang ibu, penginnya warna putih, bersih kata ibu, dan selera ibu, menurun pada saya. Warna rumah ya putih. Resik. Turunan londho kata Bapak, opo opo putih.😊

Di halaman tanah, ditanami Bapak berbagai macam tumbuhan, ada pohon jambu Bangkok, pohon delima merah, pohon melati dan beberapa pohon bunga yang saya lupa apa namanya. Bapak sangat telaten dalam merawat tanaman. Hampir semua tumbuhan yang ditanam Bapak, tumbuh subur. Banyak orang bilang, tangan Bapak itu “adem”. Pohon jambu Bangkok, yang walaupun ditanam di lahan sempit sisa teras, tumbuh subur, berbuah besar-besar, banyak lagi, sehingga “panen” tidak hanya sekali dua kali, tapi sering. Bahkan tidak jarang “diambil” anak-anak sekolah yang lewat depan rumah. Saking telatennya, pohon jambunya kadang disemprot air sabun detergen untuk menghilangkan hama, ujar Bapak menerapkan resep sales deterjen SS88, merk sabun yang cukup digemari ibu-ibu kala itu. Saya dan Ita, adik saya hanya ketawa terbahak-bahak, mosok tho Pak?…

Begitu juga delima, yang walaupun tidak begitu tinggi pohonnya dengan daun yang kecil kecil dan jarang, namun sering sekali berbuah. Bahkan cukup banyak, saat buahnya masih kecilpun, sudah “dicup” kata orang Slawi atau dicim, oleh ibu-ibu yang sedang hamil muda, buat rujak tujuh bulanan katanya. Karena memang buah delima sulit ditemukan di Slawi kala itu.

Yang menjadi ingatan saya sampai sekarang adalah pohon melati yang ditanam Bapak. Bapak senang sekali dengan harum bunganya, bahkan wewangian yang dikenakan Bapak beraroma melati, merk VIVA kalau tidak salah waktu itu. Ditanam tepat disisi paling utara, dekat dengan pintu pagar. Pohon melati yang hampir setiap hari berbunga, dan hampir setiap hari juga akan saya petik dan diletakkan di meja di ruang tamu. Tak jarang juga orang yang lewat depan rumah ikut meminta dan memetiknya. Saat ini pohon jambu dan delima sudah tidak ada lagi di depan rumah, tidak demikian dengan bunga melati yang ditanam bapak, sampai sekarang masih tumbuh dan berbunga, walaupun tidak sesubur dulu. Cangkokan pohon melati itu juga yang saya bawa ke Jogja, ditanam oleh ayahnya anak-anak di dekat pagar rumah. Dahan dan rantingnya menjalar di pagar dan sesekali berbunga mengeluarkan harum melati kesukaan Bapak.

Tidak hanya di depan rumah, di foip belakang rumah, dekat dengan sumur, juga berbagai macam tanaman menjadi koleksi Bapak. Ada jenis monstera, aglonema, sansiviera, suplir, dan tanaman yang digantung-gantung yang saya tidak tahu namanya sampai sekarang. Suplir sengaja Bapak tanam khusus buat ibu, katanya, “Ibu mu ki seneng karo suplir” pernah Bapak bercerita ketika saya membantu memindahkan tanaman suplir ke pot yang lebih besar. Sehingga tak heran, setidaknya ada 4 jenis suplir yang ditanam Bapak, buat koleksi ibu.

Setiap sore, bakda ashar, saya atau kakak saya, mas Anton, bertugas menyirami semua tanaman tanaman itu, dengan ember berukuran sedang, kami siram satu satu tanaman-tanaman bapak, kalau sedang rajin, bisa bolak balik mengangkut ember untuk menyiram, biar tanamannya seger, disiram dengan menggunakan banyak air. Tapi kalau sedang “malas” atau keburu mau main, satu ember bisa untuk semua tanaman.

Tidak ada jadwal pasti, siapa yang akan bertugas menyirami tanaman, sehingga kami kadang suka lupa atau melupakan dan bermalas-malasan. Dan apabila itu terjadi, kata-kata sakti Bapak adalah "Banyak orang suka akan keindahan, tapi sedikit orang yang mau berbuat untuk keindahan". Kalimat yang hampir dihafal oleh semua anak-anaknya, bahkan oleh ibu. Kalimat yang selalu saya ingat ketika malas untuk beberes atau menata rumah, kalimat ini juga yang kadang saya ucapkan pada anak-anak apabila mereka dalam kondisi yang sama.

Apabila dicerna lebih jauh, kalimat ini sangat relevan dengan kondisi sekarang, dimana hampir semua orang menyukai keindahan, tidak hanya keindahan akan adanya tanaman dan bunga-bunga atau taman, tapi juga keindahan lingkungan yang lain, kebersihan salah satunya, tempat atau area atau ruang yang bersih, rapi dan tertata pasti akan tampak indah. Sebaliknya, tempat yang kotor akan mengurangi keindahannya.

Namun benar apa yang disampaikan Bapak, banyak orang suka akan keindahan, tapi sedikit orang yang mau berbuat untuk keindahan. Dalam masalah sampah misalnya, permasalahan kebersihan yang sedang dihadapi saat ini di hampir semua daerah. Semua orang sepakat, bahwa sampah harus diolah, pemahaman dan kesadaran akan pentingnya mengelola sampah mulai dari sumbernya sudah jamak diketahui. Prinsip 3 R (Reuse – Reduce – Recycle) dan pentingnya memilah sampah sudah cukup difahami. Yang masih kurang adalah kemauan untuk mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Aksi nyata yang disadari akan memberikan dampak pada lingkungan masih enggan dilakukan.

Apa perlu kalimat Bapak ditulis di Baliho besar, untuk mengingatkan dan menjadi slogan? 

“Banyak orang suka akan keindahan, tapi sedikit orang yang mau berbuat untuk keindahan” adalah nyata adanya. (fie’)

 


Jumat, 01 Agustus 2025

Yogyakarta Membaca Dirinya

Beberapa waktu lalu, dihubungi dari Komunitas Yuk Menulis diminta menuliskan puisi dengan teme Sumbu Filosofi Yogyakarta, yang kemudian akan menjadi buku antologi puisi. Beberapa temen di pemkot juga diminta untuk menulis, juga bapak ibu guru beserta siswa siswi di wilayah Kota Yogyakarta.

Sebenernya saya jarang menulis puisi, sangat jarang malah, namun karena adanya permintaan, dengan waktu yang singkat karena sudah memasuki deadline, akhirnya muncul juga karya puisi bertema "Sumbu Filosofi Yogyakarta" yang diberi judul "Yogyakarta Membaca Dirinya".

Puisi tersebut saya tuliskan disini, sebagai media penyimpanan yang tak lekang...
Selamat membaca & merenungkan apa makna dibalik pusi tersebut...  :)



Yogyakarta Membaca Dirinya Sendiri

Yogyakarta membaca dirinya,

dalam diam, 

antara kidung ombak dan dzikir lereng sunyi.


Yogyakarta membaca dirinya, pelan.

dalam hening, 

antara jejak dan jiwa.


Sumbu ini bukan sekadar arah,

tapi naskah,

yang ditulis bumi dan dibaca karsa.


Sumbu ini bukan hanya ruang,

tapi suluh,

bagi mereka yang mencari jalan pulang.


(fie')



Tentang Pak Anwas #9: Islam Mengajarkan Demikian

  Sabah adalah negara bagian yang kami tempati ketika tinggal di Malaysia, tidak hanya di Kota Kinabalu, Ibukota negara Bagian Sabah, bebera...