Pun ketika 33 tahun berlalu, sedih itu tetap tinggal.
Rasa kehilangan yang amat sangat.
Tatkala rindu akan nasihat masih tersisa.
Dan tak mau pergi.
Tiga minggu menjelang Ramadhan 1411 H pada suatu
sore, mas mas takmir masjid dari selatan Kota Tegal mampir ke rumah, niat mau
bertemu bapak. Saya yang pada saat itu sedang masak Indomie rasa ayam di
ruangan sisi barat warung menjawab salam mas mas takmir dengan suara nyaring,
kuatir tidak terdengar, karena sudah salam sampai dua kali. Setelah menyerahkan
surat untuk bapak, karena bapak belum pulang dari sekolah, mas mas takmir pun
pamit dengan pesan berupa harapan bapak dapat memenuhi undangan sebagai imam
sekaligus ceramah atau kultum tarawih saat Ramadhan nanti.
Seperti tahun tahun sebelumnya, satu dua bulan
menjelang Ramadhan, sudah banyak surat undangan berdatangan untuk mengisi
kultum atau ceramah tarawih maupun subuh juga pengajian menjelang berbuka.
Takut tidak dapat jadwal kayanya, sehingga jauh sebelum Ramadhan sudah
dilayangkan surat, kalau agak terlambat surat datang, jadwal bapak sudah penuh,
bingung pulak nanti untuk mencari pengganti.
Dan yang masih bisa dijadwalkan, akan ditulis dan
dibuat jadwal di kertas yang kemudian akan ditempel di dinding dekat meja kerja
bapak. Karena bapak orangnya tertib dan rapi, tak cukup hanya dengan dengan
melingkari angka-angka di “tanggalan” atau kalender sebagai pengingat, walau
ada permintaan untuk mengisi tiap minggunya, kan lebih praktis kalau ditulis di
tanggalan. Kasian kalau terlewat, ucap bapak ketika pernah meminta saya
menuliskan jadwal tersebut dan untuk mengingat sementara, tanggalan di ruang
makan tak lingkari. “Dicatet neng kertas sik ditempel neng dhuwur mejo nok…”.
Tapi, “ah dasar aku”, sedikit ngeyel, “ditulis disini dulu Pak, ntar dipindah”
“Weh ojo ditulis neng tanggalan… ndak lali, mesakke”.
Penuh satu bulan, jadwal bapak keliling dari satu
surau ke surau lain, satu masjid ke masjid lain untuk memberikan ceramah, kalau
lokasinya dekat, bapak akan berangkat sendiri, naik becak, tapi kalau agak
jauh, akan dijemput dari takmir masjidnya, maklum, bapak tidak “berani” naik
motor sendiri setelah pernah terjatuh pas di depan rumah ketika mengendarai motor.
Namun pada Ramadhan 1411 H, Bapak tidak bisa
memenuhi harapan mas mas takmir masjid dari selatan Kota Tegal, bukan karena
jadwal bapak yang sudah penuh karena mas mas takmir masjid tidak bertemu
langsung dengan bapak mengutarakan harapannya, bukan juga karena mas mas takmir
masjid selatan Kota Tegal itu terlambat melayangkan surat. Begitu juga dengan
permintaan pengajian dan undangan pengajian lainnya, walau permintaannya sudah
tertulis rapi di kertas jadwal yang tertempel di dekat meja kerja bapak, Bapak
tak mungkin akan datang naik becak atau dijemput motor takmir. Mungkin karena
menurut Allah, tugas bapak untuk menyampaikan secuil dari ilmu-NYA sudah purna.
(fie’)