Sekitar satu minggu sebelum bapak dipundhut Allah SWT, ibu dan rombongan pengajiannya ber-Wisata Religi ke Cirebon. Cuma satu hari, pagi berangkat, sore sebelum maghrib direncanakan sudah pulang. Namun sampai pukul setengah delapan, ibu belum juga pulang, dan Bapak dengan kekhawatirannya yang tampak jelas menunggu di warung sambil jalan bolak balik warung - teras rumah. “Ibumu kok durung mulih yo Na’?”, pertanyaan yang tidak hanya sekali dua kali saya dengar selama beberapa puluh menit jaga warung sambil sesekali buka buku pelajaran yang hanya dibuka tapi tidak dibaca. “Bentar lagi paling Pak, mungkin masih di jalan,” jawab saya spontan.
Malam itu tidak seperti biasanya, setelah sholat maghrib dan nderes, bapak nemenin saya jaga warung. Karena ibu “piknik” ke Cirebon, jadi sehabis pulang sekolah sampai tutupnya warung, saya dan Ita, adik bontot yang saat itu kelas 3 SMP, bergantian jaga. Pada hari hari biasa, warung ibu tutup pukul 09.00 malam, tapi tidak malam itu, belum jam 08.00, bapak sudah menyuruh saya menutup warung. Setelah warung ditutup, bapak duduk di teras menunggu ibu pulang, untuk beberapa menit saya menemani bapak, kasian kalau diluar sendiri pikir saya. Tidak banyak obrolan dengan Bapak malam itu, Bapak cenderung diam, padahal, biasanya ada saja bahan obrolan. Dua kalimat Bapak yang masih saya ingat malam itu, “Nek arep mulyo uripmu, senengono ibumu… Suk ibu karo adhimu dijogo yo Na’…”. Kemudian menyuruh saya masuk rumah sinau istirahat dan bapak tetap menunggu di teras sampai ibu pulang bersamaan dengan jingle pembuka “Dunia dalam Berita”-nya TVRI.
Tidak ada firasat apa apa malam itu, tidak terpikir juga kalau itu pesan “terakhir” bapak sebelum beliau meninggalkan kami selamanya dengan sangat mendadak. Kalimat pertama sering saya dengar dari Bapak, tapi yang kedua, baru kali itu disampaikan. Kiranya tidak sekali dua kali Bapak berpesan terkait bakti dan hormat pada orangtua, khususnya ibu. Pesan yang sama pernah disampaikan Bapak ketika malam-malam diajak beli Mie Semplo di Slawi Pos, kami jalan kaki ke tempat jualan bakmi yang menurut saya lumayan jauh, Bapak memilih jalan kaki dan pulangnya naik becak, maklum, Bapak tidak bisa mengendarai motor (kayak saya 😁). Sambil menunggu antrian bakmi nya digoreng untuk kemudian dibungkus dan dibawa pulang, Bapak cerita kalau ibu suka sekali dengan Mie Semplo, tidak kerso mie yang lain, kecuali ibu masak sendiri, dan sampai sekarang pun demikian, cuma ganti warung, kalau dulu Mie Semplo, sekarang ganti Mie Wahyu Kagok, karena Mie Semplonya sudah tidak jualan. Malam itu, Bapak beli buat ibu, ibu lagi pengin dahar mie, dan kami berduapun jalan kaki ke warung yang jaraknya lebih 1,5 kilometer dari rumah. “Seneng-senengono ibumu, insyaallah mulyo uripmu”, pesan Bapak.
Pernah ketika saya sedikit bicara kasar pada ibu, menimpali ucapan ibu, karena “kesal” ditegur hanya gegara pulang sekolah telat untuk ikut rapat mendadak seusai sekolah. Sebenarnya Mas Anton, kakak saya sudah “nyamperin” ke sekolah pakai sepeda balapnya, “Na’ suruh ibu pulang, makan dulu” kata Mas Anton di depan kelas, karena tanggung masih rapat, sehingga saya tidak langsung pulang, tapi menunggu pertemuannya usai. Bapak yang mendengar ucapan saya, langsung menegur dan mengingatkan. Awalnya saya mengira pesan dan teguran Bapak karena cintanya terhadap ibu, sehingga hati dan perasaan ibu harus selalu dijaga juga oleh anak-anaknya, sebagaimana Bapak menjaga hati ibu. Namun ternyata lebih dari itu.
Allah memerintahkan kita untuk berbakti dan hormat pada orangtua, serta melarang menyakiti hati mereka, bahkan ucapan “uh” atau “ah” saja dilarang dilontarkan.
“Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Al Isra`: 23).
Rasulullah menekankan anak wajib berbakti kepada orangtua, mendurhakai orangtua termasuk dalam dosa besar dan disejajarkan dengan dosa syirik.
Abu Bakrah meriwayatkan, Rasulllah ﷺ berkata “Maukah aku memberitahumu tentang dosa besar yang terbesar?”, sebanyak tiga kali, Mereka menjawab “Ya, Rasulullah.” Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda, “Menyekutukan Allah dan tidak berbakti kepada orang tua.” (HR Bukhari).
Lebih khusus lagi pada ibu, Allah menempatkan tempat yang istimewa bagi seorang ibu, sehingga kewajiban berbakti pada ibu 3 kali lebih dahulu barulah ayah.
“Dari Abu Hurairah, dia berkata, ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW dan bertanya: ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak aku perlakukan dengan baik?’ Rasul pun menjawab: ‘Ibumu’. ‘Lalu siapa lagi?’, ‘Ibumu’. ‘Siapa lagi’, ‘Ibumu’. ‘Siapa lagi’, ‘Ayahmu.”
Betapa Islam menempatkan tempat yang mulia bagi seorang ibu.
Dalam satu riwayat dikisahkan, satu saat Ibnu Umar datang menghadap kepada Rasulullah. Ia bertanya, 'Ya Rasulullah, aku tidak bisa melihat Allah itu seperti apa, tetapi bagaimana caranya aku ingin merasakan kalau Allah sedang tersenyum kepadaku? dan kata Ibnu Umar aku tidak bisa melihat wajahnya Allah, tetapi aku ingin tahu seperti apa Allah tersenyum kepadaku?'. Maka Rasulullah menjawab, wahai Ibnu Umar, kalau kamu ingin membuat wajah Allah tersenyum kepadamu, maka buatlah senyum di wajah ibumu.
Sebagai Hamba Allah dan umat Rasul-NYA, sudahlah menjadi kewajiban kita untuk mematuhi perintah-NYA, dan mengikuti ajaran Rasulullah. Jika Allah memerintahkan kita untuk berbakti pada kedua orangtua, terlebih ibu, patuhilah. Jika Rasulullah mengajarkan bagaimana seharusnya kita bersikap pada kedua orangtua, terlebih ibu, ikutilah. Jika kita mematuhi perintah NYA dan mengikuti ajaran Rasul-NYA, insyaallah Allah akan menolong kita. Mencukupkan kebutuhan kita. Memuliakan hidup kita. Sesederhana itu. Seperti pesan Bapak, “Nek arep mulyo uripmu, senengono ibumu…”
Ada surga di telapak kakinya, apalagi dalam doanya.
Selamat Hari Ibu.
- 22 Desember 2022 -