Jumat, 10 Juni 2022

Ini Tentang Pak Anwas #3 Ojo Gumunan


Semacam menjadi kebiasaan bagi keluarga Pak Anwas, untuk cerita tentang hal-hal kecil kejadian-kejadian hari itu pada saat makan malam. Tradisi ini, kalau bisa dibilang demikian, berlangsung sejak saya masih kecil. Di meja makan, serasa kami dapat bercerita apapun, dari cerita
receh, lelucon hasil kulakan teman, cerita guru sejarah yang kalau mengajar seperti “rekaman” karena materi sudah diluar kepala, sampai pada diskusi berat, tentang hukum evolusinya Darwin, sisa diskusi pelajaran biologi dengan Pak Daryono, guru SMA N 1 Slawi. Namun, namanya juga banyak anak, tidak semua dari kami fasih bercerita, ada yang ceriwis dapat menceritakan secara detail kejadian tadi siang berikut gaya menirukan kejadian tadi siang, ada yang kalau bercerita tidak selesai dan melompat-lompat karena keburu cerita bab lainnya, ada yang gagap sehingga harus di-dor supaya cerita jalan terus, tapi ada juga yang hanya menjadi pendengar dan kemudian berkomentar sedikit tapi mengundang gelak tawa. Di tengah-tengah “prosesi” itulah, tanpa kami sadari, seringkali terselip nasihat-nasihat Bapak, halus, mengalir dengan gaya kocaknya. 

Pernah satu waktu, dengan penuh semangat dan bebui-bui (kata orang Sabah) saya bercerita tentang hebatnya teman sudah bisa nyetir mobil sendiri. Waktu itu, saya dan tiga orang teman sekolah ada acara di Tegal, latihan “fashion show” kalau tidak salah, jarak antara Slawi - Tegal kira kira 14 km, biasanya kalau ke Tegal, kami naik “Kijang Kuning”, angkutan umum Slawi - Tegal, tapi hari itu kami naik mobil warna merah maroon yang disopiri sendiri oleh teman saya. Rasanya beda, nyaman, sejuk dan lebih cepat, karena tidak harus kepanasan dan berdesakkan seperti naik “Kijang Kuning”, dan yang kalau ngetem, waktunya bisa lebih lama daripada waktu tempuh Slawi - Tegal. “Anak perempuan nyetir mobil lho Pak”, penegasan cerita saya waktu itu.

Komentar Bapak cukup singkat, “ojo gumunan”. Pada awalnya saya tidak begitu paham dengan kalimat tersebut, karena Bapak menyampaikannya dengan nada canda khas beliau, namun ketika obrolan berlanjut, terajut benang merah pesan yang disampaikan. Kalau diartikan dalam bahasa Indonesia, ojo artinya jangan. Sedang gumunan berasal dari kata gumun, yang artinya kagum, gumunan artinya mudah terkagum-kagum, sehingga ojo gumunan dapat diartikan jangan mudah terkagum-kagum, atau bahasa gaulnya sekarang “B aja kali”.  

Tidak hanya kali itu frasa tersebut terucap, di beberapa obrolan “ojo gumunan” akan kembali terdengar, ketika saya, kami, anak-anaknya atau bahkan ibu, menceritakan kehebatan atau kelebihan orang lain secara berlebihan. Bapak tak lelah mengingatkan kami untuk tidak terlalu kagum dengan apa yang dimiliki orang lain, karena khawatir muncul sifat membanding-bandingkan dengan apa yang kita miliki. Akan terkikis rasa syukur yang awalnya tertanam di hati, tergantikan dengan rasa iri dan ingin memiliki lebih. Demikian terang Bapak. Ketika menginginkan lebih, mencari jalan untuk mendapatnya, mengabaikan aturan dunia dan hukum Allah, lupa kalau hidup adalah perjalanan menuju satu titik. Kadang tidak berhenti disitu, berlanjut mencari tahu lebih banyak tentang orang tersebut untuk dibicarakan, yang akhirnya membicarakan hal yang bukan hak kita. Ghibah, fitnah mungkin saja terjadi. 

Tidak hanya itu, gumunan dengan kelebihan orang, juga akan memunculkan rasa rendah diri, menganggap kita lebih rendah dari orang tersebut, atau sebaliknya, ketika kita yang berada di posisi “atas”, memandang rendah orang-orang disekitar kita. Hilanglah rasa saling menghormati dan saling menghargai, hubungan silaturahmi tertutup dengan label kekayaan, gelar, pangkat dan jabatan.

Sesederhana itu frasa yang digunakan Bapak. Namun apabila ditarik lebih jauh, mengandung pesan yang tidak sependek frasanya. Mungkin supaya mudah diingat jika suatu saat terjebak di lini masa seperti itu. So, kalau melihat ada orang yang punya koleksi mobil sampai 18 unit, atau bertemu teman lama yang sudah berpangkat tinggi, satu frasa yang mudah diingat, ojo gumunan, karena kita tidak tahu apa yang ada dibalik itu. (fie’)

 

Gantari: Pusat Unggulan Naskah Kuno di Perpustakaan Kota Yogyakarta

Selayang Pandang Pusat Unggulan Naskah Kuno Gantari , yang bernaung di bawah Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Yogyakarta, merupakan ini...