![]() |
Pusat Latihan Dakwah Keningau, Sabah dulu. |
Bapak menyandarkan kehidupan sepenuhnya pada Allah, tidak pernah mengkhawatirkan akan rezeki apalagi kehilangan jabatan. Prinsip hidupnya sederhana, berbuatlah karena Allah, yakinlah bahwa Allah-lah yang mengatur segalanya. Bapak adalah seorang Kepala Pusat Latihan Dakwah Keningau sewaktu di Sabah, Malaysia. Saya kurang tau peran Bapak, atau sampai sejauh apa “pengaruh” Bapak dalam masyarakat dan Pemerintah Sabah saat itu. Yang saya ingat, Bapak sangat dihormati dan disegani oleh orang-orang di sekelilingnya, Bapak selalu duduk di barisan depan pada acara formal yang beberapa kali saya ikuti bersama Ibu dan Ita, adik saya, serta di rumah, kami sering kedatangan tamu dengan banyak pengawalan. Kehidupan kami di Sabah, bisa dikatakan lebih dari cukup.
Namun, sejak Bapak memutuskan untuk membawa keluarga pulang ke Slawi, terasa sekali perubahan dalam kehidupan kami. Entah karena saya yang sudah “beranjak dewasa” sehingga dapat merasakan permasalahan yang tersirat atau karena memang perubahan itu begitu tersurat. Di Sabah Bapak memiliki kedudukan yang tinggi dengan rumah dan kantor yang bagus, sedang pada tahun awal kami di Slawi, Bapak lebih banyak di rumah dan berkiprah di Muhammadiyah. Kalau waktu di Sabah, Ita dan saya bisa jajan es krim atau cadbury atau sotong bakar tumbuk yang rasanya manis gurih pedas setiap hari, tapi di Slawi, pola kehidupan kami berubah. Sebatang coklat silverqueen sudah terasa mewah, bukan hanya karena harganya yang terlalu tinggi bagi uang jajan kami, tapi juga mencoba beradaptasi dengan “budaya” yang berbeda antara Sabah dan Slawi.
Alhamdulillah, situasi yang demikian
tidak membuat saya sedih atau marah. Walaupun pernah pada suatu saat saya ingin
sekali memiliki kaos yang dipajang di etalase Toko Indah Putra (toko pakaian terkeren di Slawi saat itu), kaos
oblong warna putih bergambarkan personil “New Kids on the Block”, grup
band dengan lima orang anak muda ganteng dari Boston yang terkenal dengan
lagunya “Step by Step”, saya harus menyisihkan uang jajan untuk beberapa
lama, dan ketika tabungannya cukup, kaos sudah tak terlihat lagi di etalase
toko, “habis terjual” kata TaCik nya. Kecewa, tentu, tapi tak lama,
dalam hati terbersit kata-kata, “belum rejekinya”, dan ya sudah.
Sejak
kecil saya belajar menghadapi dan menerima kondisi yang ada, tidak itu saja,
dengan kata-kata Bapak yang sering saya dengar di meja makan, dadi wong ki
sing ikhlas, sing akeh syukure, saya mencoba untuk selalu mensyukuri apa
yang ada. Bapak sering menekankan, bahwa kami harus berani dalam menghadapi
segala permasalahan yang ada. Mencari jalan keluar, ihktiar kemudian serahkan kepada Allah. Syukuri apapun hasilnya, pasti ada hikmah
sekecil apapun. Pesan Bapak tidak hanya dengan kata-kata, namun tampak jelas
dari caranya memandang dan menjalani hidup.
![]() |
Kami sekeluarga di Slawi |
Rezeki itu sudah ada yang mengatur, kalimat yang jamak kita dengar, tapi untuk mnyakininya perlu latihan dan kesabaran, dan juga ikhtiar. Jadi
ingat waktu kuliah dulu, 2 hari menjelang ujian skripsi, naskah sudah dimasukkan ke
fotokopian dan tinggal diambil, tapi duit untuk “nebus” tidak ada, bahkan untuk
makan besok saja belum tau darimana, tapi entah mengapa, saat itu begitu yakin
ada jalan keluar. Dan Allah Maha mengetahui akan kebutuhan Hamba-Nya, tiba tiba
habis ashar, datang teman membawa “proyek terjemahan” berlembar-lembar, diminta
dalam waktu 5 hari, naskah terjemahan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia
sudah selesai. Tak perlu menunggu 5 hari, dalam satu malam, terjemahan telah
selesai dikerjakan, dan hasilnya dapat buat ambil fotokopi-an skripsi
dan makan satu minggu.
Nikmat
memang ketika kita yakin pada ketentuan Allah, tingkat pasrah yang diajarkan Bapak sedikit menular pada saya, walaupun dalam kadar yang naik turun. Sampai
sekarang ketika timbul permasalahan atau peristiwa dan membuat saya bersedih.
Satu kalimat Bapak yang membesarkan hati dan memotivasi untuk terus berusaha
adalah nDuwe Gusti Allah kok bingung… (fie’)
〜 3 Ramadhan 1443 H 〜