Senin, 04 April 2022

Ini Tentang Pak Anwas #2 (nDuwe Gusti Allah kok Bingung…)


 

Pusat Latihan Dakwah Keningau, Sabah dulu.
Kalau boleh dibilang, tingkat kepasrahan Pak Anwas pada Allah SWT itu 100%, mungkin itu juga yang menjadikan Bapak selalu terlihat tenang dalam menjalani kehidupan. Tak pernah keluar kata-kata keluhan atau menyalahkan situasi yang tengah berlangsung, jangankan keluhan, helaan nafas panjang saja tak pernah kudengar. “nDuwe Gusti Allah kok bingung…” demikian satu kalimat yang sering terdengar dari Bapak ketika ada nada keluhan atau keberatan dari Ibu atas keputusan dan sikap Bapak dalam menangani suatu permasalahan. 


Bapak menyandarkan kehidupan sepenuhnya pada Allah, tidak pernah mengkhawatirkan akan rezeki  apalagi kehilangan jabatan. Prinsip hidupnya sederhana, berbuatlah karena Allah, yakinlah bahwa Allah-lah yang mengatur segalanya. Bapak adalah seorang Kepala Pusat Latihan Dakwah Keningau sewaktu di Sabah, Malaysia. Saya kurang tau peran Bapak, atau sampai sejauh apa “pengaruh” Bapak dalam masyarakat dan Pemerintah Sabah saat itu. Yang saya ingat, Bapak sangat dihormati dan disegani oleh orang-orang di sekelilingnya, Bapak selalu duduk di barisan depan pada acara formal yang beberapa kali saya ikuti bersama Ibu dan Ita, adik saya, serta di rumah, kami sering kedatangan tamu dengan banyak pengawalan. Kehidupan kami di Sabah, bisa dikatakan lebih dari cukup. 

Namun, sejak Bapak memutuskan untuk membawa keluarga pulang ke Slawi, terasa sekali perubahan dalam kehidupan kami. Entah karena saya yang sudah “beranjak dewasa” sehingga dapat merasakan permasalahan yang tersirat atau karena memang perubahan itu begitu tersurat. Di Sabah Bapak memiliki kedudukan yang tinggi dengan rumah dan kantor yang bagus, sedang pada tahun awal kami di Slawi, Bapak lebih banyak di rumah dan berkiprah di Muhammadiyah. Kalau waktu di Sabah, Ita dan saya bisa jajan es krim atau cadbury atau sotong bakar tumbuk yang rasanya manis gurih pedas setiap hari, tapi di Slawi, pola kehidupan kami berubah. Sebatang coklat silverqueen sudah terasa mewah, bukan hanya karena harganya yang terlalu tinggi bagi uang jajan kami, tapi juga mencoba beradaptasi dengan “budaya” yang berbeda antara Sabah dan Slawi.  

Alhamdulillah, situasi yang demikian tidak membuat saya sedih atau marah. Walaupun pernah pada suatu saat saya ingin sekali memiliki kaos yang dipajang di etalase Toko Indah Putra (toko pakaian terkeren di Slawi saat itu), kaos oblong warna putih bergambarkan personil “New Kids on the Block”, grup band dengan lima orang anak muda ganteng dari Boston yang terkenal dengan lagunya “Step by Step”, saya harus menyisihkan uang jajan untuk beberapa lama, dan ketika tabungannya cukup, kaos sudah tak terlihat lagi di etalase toko, “habis terjual” kata TaCik nya. Kecewa, tentu, tapi tak lama, dalam hati terbersit kata-kata, “belum rejekinya”, dan ya sudah. 


Sejak kecil saya belajar menghadapi dan menerima kondisi yang ada, tidak itu saja, dengan kata-kata Bapak yang sering saya dengar di meja makan, dadi wong ki sing ikhlas, sing akeh syukure, saya mencoba untuk selalu mensyukuri apa yang ada. Bapak sering menekankan, bahwa kami harus berani dalam menghadapi segala permasalahan yang ada. Mencari jalan keluar, ihktiar kemudian  serahkan kepada Allah. Syukuri apapun hasilnya, pasti ada hikmah sekecil apapun. Pesan Bapak tidak hanya dengan kata-kata, namun tampak jelas dari caranya memandang dan menjalani hidup.

Kami sekeluarga di Slawi
Pernah satu hari, Bapak baru pulang dari SMA Muhammadiyah Margasari, Kabupaten Tegal, sekolah dimana Bapak sebagai Kepala Sekolah sekaligus salah satu pendirinya, kebetulan saya ikut menemani ibu “jaga warung”, warung kecil usaha Ibu dengan menjual kebutuhan sehari-hari, mulai dari beras, gula, teh gopek, minyak goreng sampai kacang kulit dan permen yang suka tak cemil kalau pas “tugas jaga warung”. Waktu itu awal bulan, bulan apa, saya lupa, yang jelas hari itu adalah payday bapak, biasanya pada tanggal tersebut Bapak akan memberikan amplop gajian secara utuh ke Ibu, namun tidak pada hari itu, harapan mendapat gajian Bapak yang sudah ditunggu tidak terjadi. Malah dengan tenangnya Bapak cerita bahwa istri teman guru di sekolahnya melahirkan, dan istri serta anaknya tertahan di rumah sakit karena masalah biaya, dan amplop gaji Bapak, diserahkan semuanya. Ibu kaget dan spontan bertanya, “trus yang di rumah makan apa Pak?” dengan tenang Bapak bilang, “iki esih ono beras”, sambil menunjuk beras dagangan ibu, “suk insyaallah ana rejeki liyane”. Ibu hanya bisa menerima dan maklum adanya.

Rezeki itu sudah ada yang mengatur, kalimat yang jamak kita dengar, tapi untuk mnyakininya perlu latihan dan kesabaran, dan juga ikhtiar. Jadi ingat waktu kuliah dulu, 2 hari menjelang ujian skripsi, naskah sudah dimasukkan ke fotokopian dan tinggal diambil, tapi duit untuk “nebus” tidak ada, bahkan untuk makan besok saja belum tau darimana, tapi entah mengapa, saat itu begitu yakin ada jalan keluar. Dan Allah Maha mengetahui akan kebutuhan Hamba-Nya, tiba tiba habis ashar, datang teman membawa “proyek terjemahan” berlembar-lembar, diminta dalam waktu 5 hari, naskah terjemahan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia sudah selesai. Tak perlu menunggu 5 hari, dalam satu malam, terjemahan telah selesai dikerjakan, dan hasilnya dapat buat ambil fotokopi-an skripsi dan makan satu minggu.

Nikmat memang ketika kita yakin pada ketentuan Allah, tingkat pasrah yang diajarkan Bapak sedikit menular pada saya, walaupun dalam kadar yang naik turun. Sampai sekarang ketika timbul permasalahan atau peristiwa dan membuat saya bersedih. Satu kalimat Bapak yang membesarkan hati dan memotivasi untuk terus berusaha adalah nDuwe Gusti Allah kok bingung… (fie’)

 

3 Ramadhan 1443 H

 

 


Gantari: Pusat Unggulan Naskah Kuno di Perpustakaan Kota Yogyakarta

Selayang Pandang Pusat Unggulan Naskah Kuno Gantari , yang bernaung di bawah Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Yogyakarta, merupakan ini...