Pak Anwas adalah ayah saya, kami anak-anaknya biasa memanggil dengan sebutan Bapak. Bapak orang hebat, demikian satu kata sifat yang bisa saya gambarkan bagi sosok beliau. Tidak hanya kesabarannya yang luar biasa, sifat arif dan bijaksana serta dapat memahami dan mengerti orang lain, kecerdasan dan keseriusannya dalam menghadapi masalah, ditambah pembawaannya santai dan sense of humor yang selalu menyertai, menciptakan rasa aman dan nyaman bagi siapapun yang berada di dekatnya serta menjadikannya sosok pemimpin yang dapat diterima oleh semua kalangan.
Bapak dilahirkan dengan nama Ngadiran, tapi kemudian dikenal dengan nama Pak Anwas, sehingga “nama panjang” menjadi Ngadiran Anwas, atau disingkat N. Anwas. Bapak pernah menuturkan, nama Anwas merupakan julukkan yang diberikan temen-temannya pada masa sekolah dulu. Julukan tersebut diperolehnya karena Bapak orangnya cerdas dan humoris, sehingga disandingkan dengan Abu Nawas, nama tokoh dalam kisah seribu satu malam yang sangat terkenal pada masa itu. Hampir setiap permasalahan yang terjadi diantara teman-temannya, Bapaklah yang dapat mengatasinya dengan “santai tapi serius”. Nama “Abu Nawas” kemudian disingkat menjadi Anwas. Dan nama itu juga yang kemudian dibawa sampai akhir hayatnya.
Keluarga Pak Anwas |
Bapak adalah anak ketiga dari 5 bersaudara, itulah sebabnya, dalam kolom untuk anak-anak di salah satu majalah bulanan “Hikmah” terbitan Majlis Ugama Islam Sabah (MUIS) Malaysia, bapak menggunakan nama “Pak Ngah” sebagai nama penanya, karena dilahirkan sebagai anak tengah. Tidak hanya sebagai penulis di kolom anak-anak, Bapak juga mengisi artikel keagamaan di berbagai majalah terbitan Malaysia kala itu. Tak terhitung berapa jumlah karya lepas yang dihasilkan Bapak. Sempat juga menerbitkan sebuah buku dengan judul “Wahai Jiwa yang Tenteram” yang berisi pemahaman tentang islam dengan bahasan yang mudah difahami oleh orang awam. Mengapa dikatakan sempat, karena penulisan buku kedua belum selesai pada saat Bapak dipanggil Allah SWT pada bulan April tahun 1991.
Bapak gemar menulis, dari beberapa tulisannya, dapat terlihat bahwa pemikirannya jauh melebihi pengetahuan yang berkembang saat itu. Bahkan apabila tulisannya dibaca saat ini, topik pembahasan dan analisanya masih sangat relevan. Disamping sebagai penulis dan kolumnis untuk beberapa majalah dan surat kabar lokal, Bapak juga sebagai salah satu penulis naskah pidato Yang Dipertua Negeri (Kepala Negara Bagian) Sabah kala itu. Bapak selalu mendorong anak-anaknya untuk menulis, dengan cara meminta kami menuliskan apa yang dikerjakan pada hari itu atau yang sedang dirasakan. Pernah Bapak meminta kami menuliskan jadwal kegiatan yang akan dilaksanakan dalam satu minggu kedepan, kemudian hasil tulisannya di tempel di dinding kamar, hanya untuk membiasakan anak-anaknya untuk menulis. Sering beliau sampaikan bahwa “pinter nulis itu penting”, bukan untuk kemudian berprofesi sebagai penulis, tapi dengan keterampilan menulis, pasti akan berguna di masa yang akan datang. Dan hal ini terbukti, dengan keterampilan dan kebiasaan menulis, memudahkan saya mengerjakan tugas-tugas sekolah dan kuliah, begitupun dalam menjalankan pekerjaan saya.
Tak hanya menanamkan kebiasaan menulis, Bapak juga mengajak kami untuk mengenal buku. Masih ingat ketika saya masih sekitar berusia 6 tahun, pada setiap hari Sabtu (sekolah libur pada hari Sabtu dan Ahad di Malaysia), pagi hari jam 08.00 bapak akan mengantar kami (saya dan kedua kakak laki-laki saya) ke public library di Kota Kinabalu, dan kemudian dijemput balik pada pukul 12.00 siang, terkadang juga kami pulang sendiri dengan naik bus umum. Yang menarik dari hari Sabtu ke Perpustakaan adalah program “Book Reading”. Program dibacakan buku cerita oleh pustakawan, setelah membacakan buku, akan dengan beberapa hadiah kecil, seperti permen atau coklat yang dibagikan bagi siapa yang menjawab pertanyaan dari pustakawan. Namun kebiasaan itu berubah setelah kami pindah karena ketugasan Bapak di Keningau sebagai Kepala Pusat Latihan Dakwah Keningau (PLDK), sebuah kota kecil di pedalaman negeri Sabah. Di Keningau kami jarang sekali ke perpustakaan.
Bapak suka sekali membaca, di rumah, tak terhitung jumlah buku yang tersusun tidak begitu rapi di beberapa rak buku. Di office Bapak, juga penuh dengan buku-buku dengan berbagai topik dan bahasan. Satu yang saya cermati, buku karya Buya Hamka merupakan buku favorite Bapak. Kebiasaan membaca Bapak kiranya menular pada Ibu, tak heran, Ibu yang tak lulus SMP, dapat mengimbangi Bapak dalam diskusi-diskusi “berat”. Kebiasaan Ibu membaca masih terlihat hingga kini dalam usianya yang menginjak 78 tahun.
Dengan membaca, pengetahuan, pemahaman dan wawasan kita berkembang dan menjadi bekal bagi kita melangkah dan mengambil keputusan. Dengan tulisan, pengetahuan, pemahaman dan wawasan kita terarsip dan dapat dibagi kepada orang lain. Siapa tahu, tulisan kita dapat memberikan pengaruh baik bagi yang membacanya. Demikianlah, literasi itu tidak hanya membaca kemudian berhenti, literasi itu sampai pada dapat menuliskan apa yang kita “baca” dalam kehidupan ini.
Tulisan ini tentang Pak Anwas, sekedar ingin berbagi tentang sosok ayah dan panutan saya dalam mengarungi kehidupan. Dan akan ditulis dalam beberapa tulisan lepas, tidak bercerita tentang biografi dan perjalanan hidup serta perjuangan Bapak yang luar biasa dalam membela agama Allah. Namun lebih pada hal-hal kecil pengalaman saya dengan Bapak yang memberikan arti yang sangat mendalam dalam kehidupan saya, dan harapan juga menginspirasi para pembaca. Semoga. (fie')